Pertama. Viral. Ini menjadi kata dan fokus pemain media sosial, SJW, dan pencari uang dari hits. Boleh tenar, tidak salah mencari uang dari hits, namun masih perlu juga mengingat kebenaran dan ranah etis. Cepat dan menjadi viral seolah adalah segalanya. Ketika itu ramai, ikutlah di sana, meski kadang bertabrakan dengan kenyataan yang lebih mendasar.
Tindakan Ibu bupati itu kan biasa sebenarnya. Menjadi heboh karena seolah asing, tidak demikian tabiat bangsa ini. Kebenarannya adalah itu biasa. Lucu ketika yang biasa menjadi luar biasa. Yang salah itu malah seolah benar.
Kedua. Atas nama eforia Orba yang terkekang, sehingga seolah semua menjadi ahli abai akan nilai banyak hal. Melanggar privasi, praduga tak bersalah, dan melebihi keilmuannya. Dalam kasus gadis NF. Prihatin boleh, namun kan tidak harus lebay dan melebihi kepatutan. KPAI dengan mengatakan guru BP-nya harus tahu segala. Jelas ini sudah berlebihan. Tidak sesederhana itu juga kog.
Lebih baik kan berilah perhatian kepada anak. Tidak malah menduga ada apa dengan si bapak. Lha malah ke  mana-mana. Bapaknya pasti malu dan sedih, bukannya dibantu malah sudah dihakimi. Pelaku itu juga perlu dibantu tidak malah dimusuhi.
Empati itu seolah sudah lenyap, berganti dengan penghakiman yang melebihi kapasitas juga. Kembali point pertama demi viral dan tenar. Abai akan ranah lain.
Ketiga. Suasana hidup bersama yang tidak kondusif, berbuat dengan maksud. Pencitraan, dan politik yang menjadi agenda. Politik dalam artian politik praktis abai etis. Di sana, para pelaku politik mengumpulkan suara, nama, dengan slogan pokok tenar, meskipun dengan jalan cemar sekalipun.
Ini menjadi gelaja umum. Orang enggan berproses, pokoknya tenar dulu. Soal jalan tidak penting. Ini kan masalah, ketika adanya UU ITE. Kebat kliwat, maunya cepat malah menjadi sia-sia.
Keempat, atas nama kebebasan berpendapat, kemudian berpendapat yang asal-asalan. Pokoke menjadi andalan. Pemikiran ini menjadi keprihatinan. Tanpa mau tahu kajian dan ulasan yang kebih mendalam. Menjadi lebih repot ketika model demikian dipakai demi kepentingan politik.
Pencitraan ala politikus enggan kerja keras kan menggunakan metode ini. Dan mereka  hanya membayar orang untuk menggaungkan mereka dengan narasi bentukan yang bertujuan mengubah persepsi publik. Semua lini hidup akhirnya terpengaruh.
Kelima. Masih dominannya pelaku media sosial namun minim literasi. Enggan membaca dengan luas, asal ikut-ikutan. Nah demi viral namun enggan mencari data, akhirnya jadi pribadi gumunan. Copasan menjadi andalan, membagikan yang ia tidak paham.
Keenam. Ini lebih memilukan, pelaku media abai konsensus dan taat azas. Bagaimanapun kebebasan itu tidak ada yang mutlak. Nah berlomba-lomba cepat abai akibat. Ketika kena kasus hukum mewek. Pertanggungjawaban itu penting. Lagi-lagi miris, pelaku model enggan mengakui kesalahan biasanya pejabat publik.