Bupati Luwu Utara dan Gadis NF di Antara Tabiat Gumunan dan Sotoy
Beberapa waktu terakhir, lini massa media sosial dipenuhi dengan dua peristiwa ini. Kisah toleran yang dilakukan Ibu Bupati Luwu Utara. Sejatinya itu normal-normal saja, sebuah hal yang biasa, namun karena di tengah keadaan bangsa yang krisis toleransi menjadi luar biasa.
Kisah kedua mengenai pengakuan seorang gadis cilik NF yang mengaku kepada polisi telah membunuh  anak-anak teman bermainnya. Bagus status media sosial Kner Naftalia Kusumawardani. Di mana menyatakan masih terlalu dini mengatakan NF ini begini dan begitu. Toh banyak sudah yang memberikan stempel atau label psikopatlah, kejamlah, anak kog begitu dan begini. Atau keluarganya juga mulai dianalisis yang sayangnya belum tentu demikian.
Masih terlalu dini, ketika itu hanya pengakuan, belum ada bukti lain ia yang membunuh. Pun mengenai dugaan menyiksa binatang, kejam, dan seterusnya. Masih perlu data pendukung dan itu adalah perlu wawancara mendalam oleh ahlinya. Tidak hanya berasal dari pemberitaan.
Kedua hal yang identik. Bagaimana tampilan Bupati Luwu  Utara yang melakukan peletakan batu pertama pembangunan gereja. Bantuan sekian ratus zak, dan itu sebagai seorang kepada daerah kan wajar. Normal dan tidak ada yang aneh atau luar biasa. Kewajiban malah dan salah satu tugas sebagai pemimpin. Tentu bukan dalam arti mengecilkan peran Ibu Bupati yang sangat berani di tengah arus aksi intoleran berani seperti ini.
Yang menjadi bahan permenungan adalah, bahwa demikian mudahnya bangsa ini, terutama pegiat media sosial untuk mudah gumun. Gumunan, ini masih terlalu dini  ketika disebut sebagai calon presiden, pemimpin masa depan, dan seterusnya.
Seolah bangsa ini sudah krisis parah, ada aksi normal sedikit saja sudah heboh. Benar memang negara ini sedang dalam kungkungan aksi intoleransi. Namun tidak buruk-buruk amatlah. Jangan malah menjadi skeptis seperti KPK yang membuat jargon, Jujur itu Hebat. Jujur itu sebuah keharusan  kog bukan kualitas atau prestasi.
Anak bangsa kog gumunan. Perlu ingat nasihat Semar, aja gumunan. Hal yang sangat Indonesia ini dulu. Mengapa sekarang seolah menjadi barang antik yang begitu mengharukan, seolah-olah mukjizat dari langit. Atau hujan usai setahun panas menyengat. Tidak demikian. Memang negara tidak baik-baik saja, namun juga tidak separah itu juga.
Sisi lain, ketika mengomentari gadis NF, seolah sudah ahlinya ahli. Â Benar bahwa ini harus dicermati dengan lebih sungguh-sungguh dan penuh perhatian. Namun ketika menganalisis dan kemudian menyimpulkan seolah si gadis sudah pasti ini dan itu tentu ini lebay dan sotoy.
Kembali, sifat gumunan dan kemudian menjadi gupuh. Seolah sudah menjadi budaya cepat untuk menyimpulkan apa yang bukan bidang dan keahliannya. Peduli dan perhatian itu berbeda dengan menempelkan label dan memberikan simpulan ini dan itu.Â
Mengapa sekarang seolah bangsa ini menjadi bangsa yang gumunan dna gupuh miskin esensi?