Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketika Tidak Hafal Pancasila Lebih Celaka daripada Prostitusi dan "Konspirasinya"

8 Maret 2020   20:22 Diperbarui: 9 Maret 2020   17:01 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kemarin, salah satu peserta pemilihan puteri-putri-an gagal menghafalkan sila-sila Pancasila. Pro-kontra langsung saja riuh rendah. Pembelaan demi pembelaan terjadi. Pun hujatan ataupun sekadar menyayangkan sama ramainya.  Memang masih bisa diterima nalar di tengah maraknya penolakan Pancasila, jika hanya tidak hafal.

Apa iya, ini  tidak berimplikasi lebih jauh, dengan banyaknya aksi dan narasi antiPancila misalnya? Sangat mungin juga.  Atau benar sebagaimana banyak pembelaan itu karena grogi? Ah apa iya sampai segitunya. Ini ajang bukan main-main, sampai tahap akhir, itu bukan sembarangan. Soal grogi sangat kecil.

Persoalan hafal Pancasila dan tekanan batin dan fisik memang sangat mungkin. Dulu kalau kuliah D3 dan negeri, biasanya ada latsar militer di salah satu kesatuan pendidikan angkatan. Rekan ini menyatakan, jika ia  benar-benar tidak hafal Pancasila, selain takut instruktur yang galak, juga beban helm serta rangsel yang harus dibawa.

Tadi dalam sebuah komentar di media sosial, becanda dengan rekan yang berlatar belakang sama. Kalau anak Kimia apapun yang terjadi dengan NaCl tidak akan bisa lupa, bahwa itu garam. Spontan, otomatis, dan sudah tidak akan mikir lagi. Demikian juga dengan Pancasila. Hanya lima kog.

Dulu, guru Bahasa Latin, mengajarkan metode drill, dengan hapalan yang memang sangat kuat. Kata beliau, baru bangun tidur sudah  bisa mengatakan satu kata dengan tasrifnya dan konjugasinya. Lha satu kata bisa menjadi enam jenis dan itu menentukan arti kalimat secara keseluruhan. Sekali ingat, susah hilang memang, karena melekat, bukan sekadar hafalan HL, hanya lewat. Mendalam.

Seperti dalam menghafal dalam Bahasa Latin dan  peristilahan kimia, pun ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu lainnya. Toh ini hanya soal yang tidak demikian fatal, karena masih bisa menghafal kembali. Bandingkan dengan apa yang terpapar setiap hari dengan hoax, fitnah, dan abai akan tanggung jawab.

Lebih miris lagi adalah adanya pernyataan jika puteri itu ditolak oleh pejabat daerah terkait bahwa  tidak tahu jika perwakilan daerahnya. Karena "membuat malu" ditolak, sudah bukan juara, masih tidak hafal Pancasila lagi. Coba jika menang?

Menjadi penting ketika mengaitkan ketidakhafalan Pancasila yang langsung dinyatakan bukan mewakili Sumatera Barat, dengan  perilaku ugal-ugalan Andre Rosiade. Apakah iya, tidak hafal Pancasila   itu lebih "buruk" secara moral dengan pelaku dugaan "konspirasi" prostitusi?

Mengapa demikian? Ketika heboh prostitusi tidak ada sikap yang sama. Misalnya Andre bukan warga kami. Atau sikap Andre bukan kepribadian kami. Lha nyatanya dia tahu dengan baik perilaku jual beli seksual, mau lapor polisi atau tidak, toh tetap dia tahu adanya prostitusi. Dia yang menyewa, jika menjebak itu ranah anggota dewan, lha buat apa polisi. Toh muara kasus itu juga entah ke mana.

Yang gerah kan para pengusaha hotel dan pelaku pariwisata. Para elit daerah sama sekali tidak ada suara kog. Tiba-tiba langsung responsif mengenai Kalista Iskandar.

Apa iya level kesalahan Kalista Iskadar  lebih dari Andre dan kawan-kawannya?   Melihat reaksinya kog seolah Kalista demikian buruk, sehingga langsung menyatakan tidak tahu kalau perwakilan daerah. Memangnya prosesnya selama ini bagaimana?

Posisi Andre jauh lebih gegap gempita. Saling lapor polisi, dan para pengusaha hotel dan pariwisata sampai jengah. Iyalah, hotel bintang lima menjadi TKP prostitusi, siapa tidak malu?  Reaksi pemerindah provinsi adem-adem saja kog.

Memang mengenai Pancasil tampaknya menjadi tamparan cukup kuat bagi pemerintah daerah, di mana kawasan tersebut memiliki kecenderungan yang lebih ke arah bukan berideologi Pancasila. Dengan cepat-cepat memberikan bantahan itu adalah duta mereka seolah semua selesai. Padahal tidak demikian.

Jejak digital keberadaan Kalista Iskandar dengan pejabat setempat tidak akan bisa hilang.  Segala upaya jelas tidak bisa menutupi rekaman digital saat ini.  Apa yang mereka lakukan selama ini juga mendukung ke arah sana.

Menyatakan bahwa Kalista bukan mewakili Sumatera Barat malah tidak membawa dampak apa-apa, selain bahan olok-olokan media sosial. Jauh lebih baik adalah memperbaiki pendidikan terutama mengenai nasionalisme. Pernyataan seperti, waduh kami kecolongan dalam mendidik, perlu kerja keras dan upaya terus menerus demi Pancasila, itu lebih bagus.

Benar bahwa tidak hafal Pancasila bukan berarti tidak memiliki sifat nasionalisme, namun  bahwa dengan abai akan dasar-dasar dan falsafah berbangsa akan mudah untuk tergantikan dengan ideologi lain yang memang sedang masif didengungkan sebagian pihak bangsa ini. Perlu  kecermatan.

Ternyata gagasan untuk kembali membumikan Pancasila memperoleh dasar nyata. Ini bukti pendidikan Pancasila memang penting. Kegiatan sekelas putri-putrian yang bergengsi, jelas menuntut pendidikan saja gagal dalam pengetahuan sederhana ini.  Pengertian sederhana itu bahwa seperti bernafas, sila-sila dalam  Pancasila itu  sebagai anak negeri yang berpendidikan dan menyandang predikat puteri.

Kan lucu finalis Puteri Indonesia, yang disebut-subut tidak hafal Pancasilanya. Dan juga menyikapi dengan adil dan obyektif, ketika ada kasus yang lebih gede mengapa hanya diam saja? Perayaan Hari Perempuan Internasional eh malah seperti ini kisahnya.

Selamat Hari Perempuan Internasional

Terima kasih dan salam

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun