Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tuhan, Tidak Senaif Itu Ah...

8 Maret 2020   11:58 Diperbarui: 8 Maret 2020   12:04 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tuhan, Tidak Senaif itu Ah...

Dua kisah yang berkaitan dengan fenomena yang terjadi, cukup menggelitik karena keduanya berkaitan dengan iman dan akhirnya Tuhan. Kisah pertama, pengalaman seorang rekan Kners yang berselisih paham mengenai tanggapan soal photo Tara Bassro. Satu sisi rekan Kompasianer ini berbicara seni. Pada posisi berseberangan tidak mau tahu dan pada ujung perselisihan itu mengatakan semoga Tuhan memberikan hidayah.

Kisah kedua, mengenai corona dan keputusan Gereja untuk menyingkirkan sementara air suci di pintu-pintu gereja. Hal yang sepele. Itu air digunakan sebagai pengingat bahwa pernah dibaptis. Artinya semacam simbol, bukan yang hakiki, dalam kondisi tertentu tidak harus ada. Menjadi masalah ketika ada sebagian orang yang mengharuskan tetap ada dengan mengatakan Tuhan lebih besar dari corona. Corona pasti mati.

Dari kedua hal sama-sama mengaitkan apa yang bukan hakiki keimanan dengan yang ilahiah. Ada konteks kemanusiaan yang seolah dicerabut dan menjadi hak Tuhan. Bebas kog ada yang menikmati pose TB, atau tidak. Keduanya tidak bisa saling meniadakan dan satu lebih buruk dari yang lainnya.

Ketika berbicara eksploitasi itu si obyek tidak tahu atau di dalam tekanan. Kenyataannya si artis mengatakan dengan terus terang maksudnya adalah penghargaan atas tubuh apa adanya. Tidak takut dengan  gambaran dan batasan bisnis atau ekonomis. Jika berbicara  ranah ini, coba lebih eksploitatif mana?

Pun, jika dikaitkan dengan ranah sprititual atau  kehendak Tuhan di sana. Bersyukur apa adanya, atau malah memaksakan sesuai dengan apa yang dikehendaki industri?

Berkaitan dengan itu, komentar mengenai air suci di gereja. Bagaimana uskup sebagai pemimpin umat, tentu tidak sembarangan memberikan imbauan. Keputusan tidak mudah, karena berkaitan dengan pastoral. Ini kebiasaan, dan ketika kebiasaan itu terinterupsi bisa  ribet, dan benar.

Sama sekali tidak ada kaitan dengan kebesaran Tuhan di sini. Karena sangat mungkin bahwa wadah air itu tidak terjamin kebersihannya. Ini soal manusia bukan soal Tuhan.

Dua kisah dan fakta di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa apapun agamanya, apapun latar belakangnya akan sama saja. Menyampuradukan yang manusiawi dan ranah Tuhan dengan pola pikir manusiawi. Tuhan itu Maha, jangan diselami dan dimaknai dengan kemampuan manusia semata.

Ketika Agustinus mempelajari dan mau tahu mengenai Tuhan dengan lebih baik, ia menemukan jalan buntu. Ia memutuskan jalan-jalan ke pantai. Di sana ia menemui anak  kecil yang membuat lobang dengan tangannya seolah membuat sumur. Ketika ditanya si anak menjawab mau memindahkan air laut ke dalam sumurnya.

Agustinus terhenyak dan itulah dirinya. Anak kecil yang hendak memasukan Tuhan ke dalam otaknya yang amat kecil dan terbatas.

Beberapa hal layak kita renungkan:

Jika manusia itu semata budak, atau robot, tanpa kehendak bebasnya, Tuhan akan menghapus perbedaan. Semua akan dibuat sama. Melihat TB dengan nafsu saja, atau itu jahat saja, atau sebagai seni semata. Nah ketika ada yang melihat itu sebagai seni, ada yang merasa itu sebagai sebuah kejahatan, pun ada yang menikmati sebagai sarana pendidikan.

Apa ya betul ketika yang menikmati sebagai karya seni dinilai tidak dalam jalan Tuhan? Ini kan naif, seolah Tuhan itu seperti pemikiran manusia yang tidak memberikan kebebasan sama sekali. Tuhan yang tidak bisa melihat perbedaan. Hoiii itu manusia, bukan Tuhan. Jangan kerdilkan Tuhan dengan pemikiran demikian.

Tidak salah, sebenarnya yang tidak bisa melihat photo sebagai karya seni, dan memandang itu sebagai sumber maksiat, asal tidak memaksakan orang lain juga sama dengan dirinya dong.

Sama juga ketika saya ke Jakarta naik kereta jangan paksakan saya melihat dari atas awan karena naik pesawat.  Atau yang macet karena naik mobil  jangan dikatakan mana mungkin macet karena naik kereta.

Pun soal air suci. Ini bukan soal iman atau soal kebesaran Tuhan. Upaya manusia yang sedang menghadapi wabah. Toh air itu bukan yang utama dan esensial. Sangat mungkin ditiadakan. Toh ketika Misa lingkungan, atau ziarah tidak ada air itu dan tidak ada gejolak, mengapa ketika untuk sementara disingkirkan seolah imannya hilang juga.

Masalahnya adalah ketika apa-apa adalah Tuhan terlebih dahulu dan mengabaikan perilaku manusia. Beriman  penting juga rasional, sehingga tidak menjadi fideistis, apa-apa iman akan menyelesaikan, Tuhan akan mengatasi. Tidak demikian.

Tuhan memiliki begitu banyak ragam tugas dan pekerjaan. Ada pula ranah manusia yang sudah diberi kebebasan. Janganlah naif dan menilai Tuhan seolah seperti kita. Pun jangan juga mudah menilai segala sesuatu dengan mengatasnamakan Tuhan, yang kadang kita juga masih belibet memahaminya.

Semua ada ranahnya, toh ada masing-masing dianugerahi kebebasan, tentu saja diperlengkapi juga dengan pengetahuan, nah ketika kebebasan itu kog memaksakan orang lain juga untuk sama, kebebasannya di mana dong? Apalagi demi mendapatkan legitimasi menggunakan Tuhan.

Tuhan tidak senaif itu juga lah. Manusia itu ciptaan yang dikasihi dan diperlengkapi dengan kebebasan. Nah di sanalah iman itu justru bekerja dan tidak memaksakan kehendak kepada sesama yang berbeda pandangan.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun