Menikmati karena tubuh sebagian besar air. Entah mau bicara apa menanggapi hal ini. Bagaimana bisa berkata demikian, di tengahair yang membawa ikut serta barang-barang. Â Perabot itu kalau tidak hanyut, juga rusak. Menikmatinya bagaimana coba? Atau sambil ngopi di atas kasur basah begitu?
Atau sambil menonton televisi yang mati karena sudah terendam air, dan pura-pura ada gambarnya? Lha apa bedanya dengan maaf orang di rumah sakit jiwa. Menikmati kehancuran yang berulang dalam waktu singkat. Ini maaf apa bukannya masochis atau maniak?
Jelas mereka orang cerdas dan juga normal. Tidak ada gangguan apapun dalam diri mereka. Masalahnya mereka harus berpendapat, padahal bisa saja menolak wawancara dan katakan, tidak perlu banyak kata, kami kerja saja, jauh lebih keren. Atau memang tidak bekerja? Jadi banyak omong untuk menutupi itu?
Frustrasi sangat mungkin. Ungkapan-ungkapannya banyak yang asal-asalan. Nunggu laut surut, siap mengosongkan kali, atau warga bahagia kog. Ini bukan lagi kampanye asal tenar meski cemar. Kini sudah belepotan kog. Jauh lebih realistis jika mereka bingung.
Curah hujan yang makin tinggi, intensitas lama, dan juga berulang-ulang. Fakta terkuak mereka selama ini aslinya tidak bekerja. Untuk menutupi itu semua ya asal bicara.
Kekacauan demi kekacauan ini karena mereka tahu bahwa tidak ada persiapan sama sekali. Lha waspada kan di depan, bukan setelah kejadian. Mau menikmati apa dengan banjir yang terus menerus itu.
Pembelaan demi pembelaan juga tidak menambah baik karena sama kacau dan ngacaunya. Nambah pusing.  Jika frustrasi sangat wajar. Tekanan massa dan media, dan  keadaan yang makin tidak mudah. Sendiri lagi.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H