Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan Seksualitas Anak Itu Mendesak

27 Februari 2020   14:16 Diperbarui: 27 Februari 2020   14:22 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Beberapa tahun lalu, pernah menuliskan tema ini karena Mendikbud kala itu, M. Nuh mengatakan, jika Pendidikan Seksual itu tidak penting karena alamiah. Naluri yang semua orang akan bisa spontan melakukannya.  Ini profesor, menteri bidang pendidikan lagi, toh memiliki pemikiran demikian. Wajar juga sih.

Tidak lama kemudian, seorang elit negeri, yang memang puritan mengatakan, jika pornografi itu diakibatkan minuman keras. Ini sih logika lompat tali yang mau menyerang dua hal yang sangat mereka benci, (tapi toh maksiat dari partainya juga banyak banget...ups..). Ini sih bukan pertimbangan untuk pendidikan seksualitas.

Eh sekian tahun kemudian ada lagi elit yang mengatakan jika berenang perempuan barengan dengan lawan jenis bisa hamil. Menjadi pembicaraan hangat dan panas, bahkan hingga media luar berkaliber saja ikut menjadikannya bahan pemberitaan. Miris, jika hal yang harusnya normal saja bisa menjadi heboh.

Dalam waktu yang hampir bebarengan, anggota dewan mengusulkan pemisahan  kamar anak laki-laki dan perempuan. Benar secara esensial tidak ada masalah. Namun itu  tidak perlu seorang anggota dewan, apalagi masuk UU, akan terjadi demikian. Plus masalah kemampuan ekonomi apakah bisa seperti itu? Dan bukti-bukti lain pun masih banyak yang  perlu diperbaki, dari sekadar usul pemisahan kamar.

Tabu dan Saru. Seksualitas saatnya menjadi pembicaraan umum, wajar, dan normal. Anggapan tabu dan saru menyebabkan pembicaraan mengenai manusia ini menjadi gagap dan malah gagal. Ujung-ujungnya orang buta menuntu orang buta. Tidak heran ketika seorang menteri pun bisa gagal memahami hal ini.

Apakah benar hubungan seksual akan otomatis dan instingtif bisa? Tidak juga, tuh bukan google, dan akan menemukan betapa banyak orang yang salah dalam hubungan badan, apalagi untuk yang pertama kalinya. Artinya, tidak serta merta demikian. Ini karena pendidikan seksual yang dianggap tabu dan saru.

Penyataan perempuan bisa hamil kalau berenang ini, khas pertanyaan abg. Asli remaja yang masih belum  paham seksualitas. Ketika mereka yang bertanya, bolehlah dianggap wajar. Lha kalau perempuan doktoral yang berbicara? Miris.

Apakah seksualitas? Seksualitas itu segala sesuatu yang membedakan lali-laki dan perempuan. Segala sesuatu, berarti seks, atau jenis kelamin itu hanya satu bagian kecil. Ada bagian-bagian lain yang tidak kalah pentingnya.

Pendidikan seksualitas itu tidak hanya membina atau mengajari melakukan hubungan seksualitas semata.

Menghargai keberadaan lawan jenis sebagai yang setara, jadi emansipasi, kesamaan derajad, kepercayaan dan budaya menghargai anak laki-laki atau anak perempuan yang lebih dari pada yang lainnya, itu termasuk dalam pendidikan seksualitas.

Bagaimana mendidikan anak untuk peduli akan seksualitasnya itu penting. Jika baik, persoalan perkosaan, incest, atau pelecehan seksualitas akan bisa ditekan. Atau bagaimana orang bisa menghargai orang di pantai mengenakan bikini, tidak akan timbul masalah dengan aneka warna aneh-anehnya. Kan di panai mengenakan bikini wajar. Atau narasi bahwa perempuan penggoda dan dibalas kaum feminis laki-laki mudah tergoda hanya karena pakaian.

Sejak kecil, anak jelas dibedakan dalam banyak hal. Dikenalkan organ-organ vitalnya. Bagaimana menyikapi itu. Itu dari sisi anak. Peran orang tua, ketika menggantikan popok dengan leluasa, tanpa merasa jijik dan mual, itu membantu anak berkembang secara sehat.

Kadang malah salah, ketika menangis terlarang bagi anak laki-laki, dan disebut cengeng, ini bukan membina jati  diri anak, namun malah membully dengan tidak langsung. Arogan dan mendapatkan hak istimewa malah tercipta.

Masa-masa puber apa yang harus dilakukan, bukan malah bentakan, atau menyatakan saru saja. Namun orang tua bisa menjadi tempat untuk curhat. Perkembangan alat kelamin primer dan sekunder pada laki-laki akan makin jelas. Apalagi pada gadis. Jika salah melakukan pendampingan bisa salah kejadian.

Keadaan tidak kalah krusial pada saat menginjak dewasa. Bagaimana kemajuan teknologi informasi, dibarengi moralitas yang makin meluntur, sikap permisif yang makin kuat, free sex seolah kebanggaan, prestasi. Jangan menyalahkan kemajuannya teknologinya, namun bagaimana menyikapi kemajuan zaman itu dengan lebih cerdas.

Pendidikan seksualitas bukan lagi hanya mengekor, atau mengambil salah satu bagian dari pelajaran BK atau Biologi saja, atau Pendidikan Agama. Perlu waktu khusus, interaktif, dan bisa menghadirkan narasumber yang bisa mengajar bukan semata pengetahuan. Pendidikan yang baik dan benar, bukan hanya asal ada.

Anak perlu diberi bekal, sehingg bukan hanya dari internet. Namun bagaimana mereka itu bisa dewasa melihat tubuh mereka ataupun tubuh orang lain. Manusia beda hewan yang instingtif. Penddikan moral juga menjadi mendesak ketika mulai luntur di dalam menghayati spiritualitas seksualitas.

Seksualitas tidak hanya hubungan seksual. Pun hubungan seksual tidak sekadar pertemuan kelamin. Manusia beda dengan binatang, karena manusia memiliki akal budi dan pertimbangan moral.

Jika elit saja memahami seksualitas sedangkal itu, apakah  pasti kalau rakyat biasa jauh lebih baik?  Sangat mungkin rakyat baik-baik saja. Tidak salah memberikan pendidikan seksualitas dengan semestinya juga.

Terima kasih dan salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun