Dalam beberapa hari ini entah mengapa ada saja korelasi pembicaraan satu dengan yang lain. Seorang gubernur menyatakan orang miskin tidak perlu memiliki anak. Masih cukup hangat, eh ada mnko yang mewacanakan setingkat fatwa kalau orang kaya perlu menikahi orang miskin.
Gagasannya sih boleh lah demi kebaikan, namun apa iya sesederhana itu sebuah pemikiran pemimpin daerah dan nasional? Â Mengapa?
Bangsa ini, bukan bangsa maaf miskin, namun menjadi miskin karena ketamakan elit dan itu yang selalu menjadi bahan perbincangan kalangan terbatas itu. hiruk pikuk, politik. Sosial, keamanan itu sejatinya tidak jaugh-jauh dari kepentingan ekonomi. Kekayaan negeri yang selama ini hanya dikuasai segelitir elit tidak mau dialihkan menjadi kepentingan sebagai bangsa.
Kekuasaan pun ujung-ujungnya adalah kekayaan, ekonomi, atau akses di dalam mengelola kekayaan bangsa ini. Aslinya  bangsa ini tidak miskin, hanya distribusi kekayaannya yang payah. Sekian lamanya hidup dalam bayang-bayang diktator, kemudian abai akan keadilan sosial. Subsidi yang meninabobokan, sedang yang  memiliki akses bisa sangat kaya dan tidak terbatas.
Pernyataan Orang Miskin Tidak Usah Punya Anak
Ini sih bukan inisiatif cerdas, namun maaf, bodoh. Bagaimana bisa apalagi NTT yang banyakan orang Katolik, pun kalau tidak salah si gubernur juga. Nah dalam Hukum Kanonik, terbuka  pada keturunan adalah sebuah tuntutan. Jadi dalam hukum Gereja ada keterbukaan pada keturunan. Tidak ada kemiskinan menjadi penghalang atas keinginan memiliki anak.
Berbeda jika jangan ndhedher kere, tidak mampu memiliki anak yang menjamin kualitasnya, tanpa tahu diri mempunyai anak secara berlebihan. Masih lah bisa diterima nalar sehat. Ada pembatasan, demi pendidikan, kualitas pangan, dan banyak hal yang tidak murah memang. Namun jika melarang punya anak suddah berlebihan.
Lha salah satu tugas pemimpin kan menyejahterakan warganya. Memikirkan cara  tidak ada lagi yang miskin dan pemikiran untuk menjadi sejahtera, bukan miskin itu tugas pemimpin. Kalau melarang orang miskin untuk tidak punya anak, lha tugas menyejahterakan warga buat apa?  Tidak akan ada gunanya pemimpin jika demikian.
Sama juga, dari pada lapar, padahal enggan masak, meminta anaknya berpuasa saja. Padahal bukan saatnya puasa, karena malas masak, bukan juga tidak ada bahan yang dimasak. Â Ini kan koplak.
Gagasan Fatwa Pernikahan Orang Kaya dan Miskin.
Lagi-lagi ini upaya untuk memberikan pemerataan dan keadilan, yang lagi-lagi lucu dan aneh. Bagaimana bisa memutuskan pernikahan harus ada kaya dan miskin. Padahal umumnya adalah orang kaya akan memilih yang kaya juga. Ini antara cinta atau jodoh toh tergantu harta juga.
Yang jauh lebih banyak adalah berbicara soal cinta, belahan jiwa, dan tidak memandang asal-usulnya kaya atau miskin. Entah dari mana bisa ada gagasan untuk subsidi silang seperti ini. Lha BPJS yang subsidi silang saja toh gagal total kog.
Subsidi swasta ala pernikahan dari Menko PMK ini kog jauh sekali bisa terealisasi. Dari segi agama, mana ada pernikahan bersyarat seperti ini. Dan apa yo mau?
Jadi ingat kala Prof Felix Tani dalam sebuah judulnya, mbok pak menteri sedikit cerdas idenya, mirip-mirip itulah, ketika berbicara sekolah seharian. Kog ini diulangi, mbok ya agak cerdasan dalam mengungkapkan ide dan gagasan.
Realitas yang ada, tidak ada yang bisa memperkirakan jodohnya seperti apa. Apalagi jodoh itu biasanya akan berkaitan dengan lingkungan pergaulan juga. Susah jika lintas beda keadaan seperti ini bisa terjadi.
Ataukah akan ada aplikasi khusus orang kaya dan orang miskin dengan jenis kelamin dan kemudian dipertemukan untuk mendapatkan jodoh begitu? Â Apakah tidak jauh lebih ribet, ketika persoalan pernikahan itu tidak semata karena kekayaan dan kekuatan materi semata. Toh banyak pemberitaan orang kaya yang memiliki keluarga kacau atau sebaliknya. Toh bukan karena materi.
Menarik, ketika gagasan lamanya soal persiapan perkawinan yang diwajibkan itu hilang gaungnya. Padahal jauh lebih penting membahas itu, dari pada mengeluarkan gagasan baru tetapi maaf tidak berguna.
Apakah jaminan jika ada "subsidi' silang itu persoalan dalam rumah tangga pasti baik-baik saja? Masalah itu pada komunikasi, jauh lebih mewakili dari pada sekadar materi. Mengapa? Orang dengan pasangannya saja hanya dekat secara fisik, padahal batinnya jauh karena asyik dengan hape. Coba berapa banyak perceraian itu karena kemiskinan dan bandingkan berapa banyak karena komunikasi yang buruk. Malah sudah banyak dirilis bahwa kebanyakan pasangan bercerai karena media sosial.
Kemiskinan bukan masalah mendasar dari persoalan dalam keluarga, namun kedewasaan dan diperparah adanya kemajuan teknologi yang tidak dibarengi dengan kemampuan pengendalian diri. Â Miris bukan jika persoalan diselesaikan tidak pada akar masalahanya, malah salah yang ditangani. Sama juga sakit batuk malah diberi obat sakit perut karena salah dengar waktu pasien mengeluh.
Kemiskinan memang harus menjadi perhatian, namun bukan malah menjadi komoditas di dalam berpolitik. Angka kemiskinan harus diperkecil, orang miskin itu harus dientaskan namun dengan cara-cara yang baik dan benar. Keadilan sosial itu harus terjadi, bukan semata menjadi gagasan yang tidak berdampak.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H