Kekisruhan Jakarta juga berpola yang sama. Bagaimana  bisa kayu ditebang kemudian dikatakan sebagai disehatkan dan tiba-tiba ada pengakuan sudah jadi meubel. Ini jelas kengawuran yang dipertontonkan dengan gamblang dan tidak ada penyelesaian.
Dewan yang memeliki kewenangan seolah diam saja. Apakah ada sesuatu di sana? Entahlah yang pasti pada periode kemarin mereka paling riuh rendah kog. Gaduh tidak karuan. Padahal jelas kualitas kepemimpinannya.
Valentine ini bukan apa-apa. Apanya yang harus diberi porsi secara berlebihan coba. Bandingkan dengan Imlek misalnya kog sepi. Jangan sampai kita ini, bangsa ini menjadi domba aduan dan pihak lain yang mendapatkan hasilnya. Mengerikan negeri kita dicabik-cabik dengan keji tanpa kita tahu maksud aslinya. Hanya karena kebodohan dan kemalasan kita sendiri.
Kekacauan Jakarta juga kelihatan di depan mata. Namun mengapa tidak diselesaikan dengan semestinya coba. Bayangkan ini bukan yang pertama soal cagar budaya, balapan mobil listrik ini, atau kerusakan Monas. Namun mengapa berlarut-larut?
Jangan sampai ketika sudah terlambat semua baru mengaku kecolongan atau kaget. Lha selama ini memangnya ke mana saja? Kerja kog cuma kogat kaget saja.
Pembiaran gaduh tidak bermanfaat. Entah sampai kapan keadaan seperti ini. Energi bangsa hanya dikuras untuk Natal dan Valentine, yang sejatinya tidak ada apa-apa bagi Gereja. Tetapi ketika riuh terdengar juga capek juga wong tidak ada apa-apa kog malah pihak lain ribut. Dan sering tidak ada yang bermanfaat lagi.
Sama Jakarta ini, seharusnya ada penyelesaian. Bukan hanya pihak yang satu menuding pasti pejabat itu salah dan sisi lain pun membela dengan sikap yang sama. Kepastian hukum yang tidak ada. Semua tersandera dan apa iya bekerja dengan maksimal jika demikian?
Memang semua ini adalah buah dari demokrasi. Demokrasi yang tidak dibarengi dengan kemampuan dan kebiasaan belajar, ya seperti ini. Suka atau tidak, masih akan terus ribut dan gaduh pada hal-hal yang ecek-ecek.
Mosok perayaan kasih sayang saja penuh kebencian, bagaimana orang bisa menebarkan kebaikan jika demikian? Tidak setuju dan tidak suka ya jangan memaksa pihak lain memiliki pemikiran yang sama. Lha kembali, demokrasi setengah hati.
Terima kasih dan salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H