Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Eks-Daesh dan Kisah Anak yang Hilang

9 Februari 2020   20:10 Diperbarui: 9 Februari 2020   20:03 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam Kitab Suci Kekristenan ada Kisah Anak yang Hilang. Di sana di kisahkan dua anak, si bungsu yang cepat-cepat minta pembagian harta warisan dari bapaknya. Harta yang diperoleh cepat-cepat dibawa ke kota di sana untuk pesta pora.

Tidak lama ia kehabisan bekal dan mau menjadi budak pun susah. Kala mendapatkan pekerjaan hanya menjadi perawat babi, dan mau memakan makanan babi saja tidak boleh. Ia jadi ingat bapaknya yang kaya dan baik hati.

Dan ia sadar dan kemudian pulang. Ia mau menjadi budak bapaknya bukan lagi sebagai anak. Ia sadar diri. Pelukan dan bahkan pesta diadakan karena si bapak merasa si anak adalah anak yang hilang dan kembali.

Sikap kakaknya berbeda. Ia marah, meradang, dan merasa bapaknya tidak adil. Ia yang bekerja keras tidak pernah diajak atau mengadakan pesta, adiknya yang menghambur-hamburkan uang dipestakan.

Nah kini, ketika ada upaya penegakan hukum di Suriah, para "pejuang" yang dulu dengan bangga menghina RI dengan membakar passport mereka, kini mau pulang. Pro dan kontra terjadi. Pihak yang pro mengatakan itu adalah WNI dan atas nama HAM.

Wajar juga ada  yang kontra. Mereka  mengatakan WNI telah gugur karena mereka sudah membakar kartu identitas sendiri dan dengan secara publik menyatakan itu. dan HAM yang sama dipakai sebagai dalih mereka telah merampas HAM orang lain juga.

Sah-sah saja apa yang mereka katakan, klaim, atau dukung dan tolak. Sah sebagai bangsa demokrasi. Apa yang perlu dicermati adalah;

Bagaimana selama ini seolah bangsa ini kerepotan dengan keberadaan terorisme. Dan salah satu cikal bakal dan arah yang sama dibawa para eks-DAESH ini. Sedikit banyak  mereka itu paling sering terkaitkan dengan peledakan dan bom bunuh diri, bahkan hingga luar negeri.

Apalagi dengan pernyataan bahwa DAESH yang telah mereka ikuti dipandang sebagai hal yang wajar, lumrah, dan tidak ada yang keliru dengan pemahaman itu. Padahal jelas-jelas banyak khabar yang mengaitkan dengan kekejaman dan perilaku bar-bar yang sangat di luar nilai-nilai agamis.

Berapa beaya yang harus ditanggung negara untuk kepulangan, hidup, dan beaya deradikalisasi bagi mereka ini. Ingat, berapa banyak pula upaya dan beaya yang seolah sia-sia untuk melakukan deradikalisasi selama ini. Apalagi mereka ini selain soal pemahaman radikal juga traumatik kekerasan masif yang mereka, saksikan, pelajari, dan mungkin juga korban sekaligus pelaku.

Pelik yang ada. Nah berkaitan dengan anggaran, cukup lucu, ketika banyak orang yang mengatakan mendukung itu juga teriak soal hutang, Indonesia terancam bangkrut, kini harus menanggung 600 orang yang telah menyatakan diri sebagai "pejuang" di tempat lain.

Apa yang terjadi ini bukan sekadar mereka masih atau bukan WNI. Namun bagaimana dan seperti apa dampak yang harus ditanggung oleh bangsa dan negara ini.  Tempat karantina untuk warga yang dari Wuhan saja jadi polemik, lha ini, bagaimana mereka mau ditampung. Ada anak-anak, ada orang dewasa. Apakah anak-anak ini bukan hasil perkosaan para milisi yang dulu mereka agung-agungkan itu, jika ia bagaimana status mereka?

Apa iya, bangsa harus menanggung akibat dan perbuatan pihak lain?  Ini soal yang lain lagi yang seolah belum terpikirkan. Bagaimana perasaan kemarahan bayi dalam kandungan yang dihasilkan dari perbuatan seperti itu. 

Kemarin baru saja membaca sebuah tulisan di media sosial, bagaimana anak yang tidak dikehendaki kelahirannya karena beban ekonomi, memberikan dampak besar. Lha ini mungkin saja hasil perkosaan, di daerah perang, dan banyak ekses buruk lainnya.

Narasi korban sedang dibangun. Media barat juga cukup masif mewartakan. Mereka mengaku kangen keluarga mereka. Lha bagaimana dengan perilaku mereka berbulan lalu ketika dengan sadis membunuh termasuk keluarga mereka. 

Di mana nurani atau hati mereka kala itu? Mendadak kangen, atau takut mati? Kan dulu katanya  mau berjuang dan mati sebagai pejuang? Mengapa mendadak kelu ketika mati di depan gantungan? Apa berubah dari pejuang menjadi kriminal? Ini kan sudut pandang semata.

Jika memang berjuang, kan mau mati di medan laga atau gantungan pihak "musuh" tetap sama. Jangan pula kemudian mengatakan tertipu. Tertipu itu saat jaya dulu sudah merasakan tertipu dan merasa tersiksa, bukan ketika kalah dan ada ancaman gantungan baru merasa tertipu.

Polemik mereka WNI atau bukan tidak lagi penting, namun bagaimana jaminan mereka itu tidak akan mengulangi hal yang sama. Lihat saja perilaku yang sudah-sudah seperti apa. Membunuh, meledakan bom, dan  menusuk orang saja masih dianggap normal. Dan mereka masih banyak yang berpikiran demikian. Lari sendiri, mosok  ketika terdesak minta dijemput.

Wacana mempekerjakan mereka. Lha katanya bangsa dibanjiri TKA, dan banyak penggangguran. Ini sudah lari dan mau kembali dan perlu diberi pekerjaan lagi. 

Ternyata mau memperpanjang kelucuan, ketika pelaku pelecehan Pancasila menjadi duta Pancasila. Pelanggar jalur Transjakarta menjadi duta Transjakarta.

Pendukung dengan mengatasnamakan HAM, lah mereka pelanggar HAM lebih keji duluan. Benar hukum bukan balas dendam, namun adanya keadilan. Toh yang membela HAM ini juga diam ketika bom meledak di mana-mana, termasuk membakar polisi atau anak-anak. Ada apa dengan pembela HAM yang aneh ini?

Pengampunan itu penting, namun ranah negara bukan bicara pengampunan, keamanan dan ketertiban hidup bersama menjadi yang utama. Orang tidak bisa seenak wudel e dhewe dalam menafsirkan hukum dan perundang-undangan. 

Bedakan orang dan perilaku. Toh masih banyak yang perlu diurus negara selain mereka. Mengapa seolah mereka adalah prioritas? Lucu dan naif. eLeSHa.

 Terima kasih dan salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun