Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Eks-Daesh dan Kisah Anak yang Hilang

9 Februari 2020   20:10 Diperbarui: 9 Februari 2020   20:03 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Apa yang terjadi ini bukan sekadar mereka masih atau bukan WNI. Namun bagaimana dan seperti apa dampak yang harus ditanggung oleh bangsa dan negara ini.  Tempat karantina untuk warga yang dari Wuhan saja jadi polemik, lha ini, bagaimana mereka mau ditampung. Ada anak-anak, ada orang dewasa. Apakah anak-anak ini bukan hasil perkosaan para milisi yang dulu mereka agung-agungkan itu, jika ia bagaimana status mereka?

Apa iya, bangsa harus menanggung akibat dan perbuatan pihak lain?  Ini soal yang lain lagi yang seolah belum terpikirkan. Bagaimana perasaan kemarahan bayi dalam kandungan yang dihasilkan dari perbuatan seperti itu. 

Kemarin baru saja membaca sebuah tulisan di media sosial, bagaimana anak yang tidak dikehendaki kelahirannya karena beban ekonomi, memberikan dampak besar. Lha ini mungkin saja hasil perkosaan, di daerah perang, dan banyak ekses buruk lainnya.

Narasi korban sedang dibangun. Media barat juga cukup masif mewartakan. Mereka mengaku kangen keluarga mereka. Lha bagaimana dengan perilaku mereka berbulan lalu ketika dengan sadis membunuh termasuk keluarga mereka. 

Di mana nurani atau hati mereka kala itu? Mendadak kangen, atau takut mati? Kan dulu katanya  mau berjuang dan mati sebagai pejuang? Mengapa mendadak kelu ketika mati di depan gantungan? Apa berubah dari pejuang menjadi kriminal? Ini kan sudut pandang semata.

Jika memang berjuang, kan mau mati di medan laga atau gantungan pihak "musuh" tetap sama. Jangan pula kemudian mengatakan tertipu. Tertipu itu saat jaya dulu sudah merasakan tertipu dan merasa tersiksa, bukan ketika kalah dan ada ancaman gantungan baru merasa tertipu.

Polemik mereka WNI atau bukan tidak lagi penting, namun bagaimana jaminan mereka itu tidak akan mengulangi hal yang sama. Lihat saja perilaku yang sudah-sudah seperti apa. Membunuh, meledakan bom, dan  menusuk orang saja masih dianggap normal. Dan mereka masih banyak yang berpikiran demikian. Lari sendiri, mosok  ketika terdesak minta dijemput.

Wacana mempekerjakan mereka. Lha katanya bangsa dibanjiri TKA, dan banyak penggangguran. Ini sudah lari dan mau kembali dan perlu diberi pekerjaan lagi. 

Ternyata mau memperpanjang kelucuan, ketika pelaku pelecehan Pancasila menjadi duta Pancasila. Pelanggar jalur Transjakarta menjadi duta Transjakarta.

Pendukung dengan mengatasnamakan HAM, lah mereka pelanggar HAM lebih keji duluan. Benar hukum bukan balas dendam, namun adanya keadilan. Toh yang membela HAM ini juga diam ketika bom meledak di mana-mana, termasuk membakar polisi atau anak-anak. Ada apa dengan pembela HAM yang aneh ini?

Pengampunan itu penting, namun ranah negara bukan bicara pengampunan, keamanan dan ketertiban hidup bersama menjadi yang utama. Orang tidak bisa seenak wudel e dhewe dalam menafsirkan hukum dan perundang-undangan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun