Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Antara Corona dan DAESH-ISIS Hidup Bersama Kita

4 Februari 2020   11:01 Diperbarui: 4 Februari 2020   10:54 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ada yang menarik sebagai sebuah pengalaman dalam hidup bersama berbangsa. Dua kisah yang cukup tragis kalau tidak berlebihan disebut demikian. Ketika Wuhan sedang menghadapi bencana demikian banyak ragam tanggapan. Salah satu yang paling utama untuk bahan permenungan adalah mengenai penolakan kawasan tertentu  untuk menjadi tempat karantina sementara. Ingat sementara.

Pada sisi lain, dalam waktu yang relatif bersamaan, ada ide dan gagasan bahwa pemerintah akan membawa kembali para pejuang DAESH. Lagi-lagi pro dan kontra dalam media. Belum ada aksi fisik yang menolak wacana itu. Jika dalam tulisan, pernyataan, dan tampilan via media sosial sih sama ruh rendahnya.

Pemerintah dan Negara Hadir.

Tidak akan bisa menyenangkan semua pihak. Itu perlu menjadi pertimbangan.  Memulangkan  warga negara dari Wuhan, sama juga dengan kepulangan "bekas" warga negara dari kawasan Timur Tengah yang pernah menyatakan diri sebagai pejuang  DAESH. Memang berbeda, karena di Wuhan, kebanyakan adalah mahasiswa atau warga negara sepenuhnya.

Ketika "pejuang" DAESH ini dulu membakar pasport, menyatakan diri secara publik ingkar atas kebangsaan Indonesia. Persoalan ideologis yang juga menjadi pertanyaan dan penolakan sebagian pihak. Sangat wajar. Sama takutnya dengan virus Corona. Bagaimana mereka bisa menjadi warga negara yang baik seperti sedia kala.

Keputusan negara ini tidak bisa serta merta ditolak atau dicurigai macam-macam. Susah bersikap sebagai pemerintah. Ini sama juga sebagai seorang bapak dan ibu dengan anaknya yang mrosal. Menghabiskan uang dan harta bendanya untuk kesenangan diri. Kala kelaparan dan miskin di kota lain, mendengar keadaan ini tentu akan mengupayakan kepulangannya.

Apakah anak-anak yang lain akan rela hati? Bisa dikira-kira sendiri. Sama, sebagai orang tua itu dilematis.  Menjemput berarti melukai anak-anak yang lain. Membiarkan saja sama artinya menjadi orang tua yang tidak bertanggung jawab. Dan itu di hadapan dunia yang menjadi saksinya.

Memang fatal kesalahannya, dan potensi lebih nakal dan merusak pun sama buruknya. Pilihan memulangkan menjadi pilihan yang paling berat, apalagi kehidupan mereka jelas sangat mengerikan di dalam derita mereka.

Politisasi Keadaan

Penolakan atau penerimaan dalam kedua kejadian ini cenderung sangat bernuansa politis dan ditarik-tarik dalam ranah politisasi juga.  Mengenai Wuhan, bagaimana ketika Jepang dan USA bisa memulangkan mereka, reaksi beberapa pihak sungguh lebai. Mengapa mereka bisa, pemerintah RI tidak. Padahal Australia, Inggris, dan negara lain juga belum bisa. Fokus yang sudah bisa seolah diperbandingkan pemerintah kita lemah.

Ketika pesawat yang berangkat pun dipermasalahkan. Mau pesawat apapun tentu pemerintah  itu sudah menghitung baik dan buruknya. Warga negara hanya melihat dan kemudian ribut. Ini bukan soal pesawatnya apa, namun kesenangan nyacat, kesenangan mencela, bukan mendukung.

Pun ketika harus dikarantinakan, di suatu daerah. Penolakan keras terjadi. Lha apa iya ada orang tua yang mau membunuh anak-anaknya sendiri dengan mengorbankan mereka. Aneh saja, lha kalau menjadi agen pembunuh mengapa dijemput? Ini bukan soal aneh lagi, namun naif, pemikiran yang bodoh. Lihat saja pemberitaan banyak yang positif, ketika pemerintah China sukses menyehatkan banyak warga yang jelas-jelas sudah terinveksi.

Sama juga dengan gagasan pemulangan ekspejuang DAESH. Yakinlah negara sudah berhitung bahwa mereka akan bisa "dijinakkan-diwaraskan" dari kesesatan mereka selama ini. Sama juga dengan kecurigaan kepulangan warga negara dari Wuhan. Tidak ada pemerintah yang mau membahayakan keamanan dan kenyamanan masyarakatnya.

Apriori dan kecurigaan sedikit saja dikurangilah. Pilihan yang sangat berat memang harus ditempuh. Tidak akan bisa terbaik yang terbaik, minimal adalah pilihan terbaik dari kondisi yang lebih buruk. Ini simalakama memang.

Rekam jejak kemunafikan dan perilaku mereka yang tidak bisa berubah memang telah melukai nurani bangsa dan sebagian besar publik. Ini memang tidak mudah untuk meyakinkan. Apalagi ketika ideologi yang identik masih banyak menjadi acuan sebagaian anak bangsa.

Sikap Positif yang Perlu Dikembangkan

Demokrasi memang memberikan kesempatan untuk bersuara. Dan kadang suara itu sumbang dan tidak jarang berupa makian yang tidak berdasar. Ini konsekuensi logis juga sih. Dan harus dijalani untuk menuju kepada hidup berbangsa dengan lebih baik.

Beri kepercayaan kepada pemerintah dengan pengawasan oleh publik. Jangan belum apa-apa sudah curiga dulu, dituding ini dan itu, namun abai akan hasil yang dicapai. Tidak hanya sekali dua kali, perilaku demikian. Hampir selalu semua dijadikan bahan perdebatan.

Sikap positif bukan kecurigaan. Ini yang harus dikembangkan, sehingga warga juga memiliki kebiasaan baik. Terutama seharusnya dimulai dari elit, yang biasanya menjadi virus menular berpikir buruk bagi masyarakat. Elit yang berpikir keuntungan politis memang susah, sehingga sering membuat onar persepsi dengan narasi yang waton sulaya terhadap kebijakan bangsa atau pemerintah.

Memang sedang berproses menuju kedewasaan berdemokrasi. Usai dihantam era tertutup dan terkendali penuh, ditingkahi masa dan era digital yang demikian tak terbatas, wajar ada friksi dan ketidakdewasaan dalam mengemukakan masalah. diperparah elit politik abai etika. eLeSHa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun