Beberapa kali ke Semarang dengan kondisi cuaca yang berbeda memberikan pemahaman yang lebih baik kondisi kota itu. Dua dasa warsa lalu memang pernah akrab dengan keadaan kota itu karena belajar di sana. Toh tidak bisa menjadi tolok ukur karena era Orba mana ada bagus-bagusnya pembangunan.
Kondisi bagus, dan sangat menarik. Semarang sebagai kota pelabuhan, bahkan di bawah laut, maka banyak got di Semarang itu tidak bisa mengalir karena tinggi permukaan laut yang di atas. Air bahkan mengarah ke daratan atau kota, apalagi jika air pasang. Pergeseran daratan juga jauh ke arah laut, jika ada lagu Semarang Kaline Banjir ya sangat pantas.
Cukup menarik, ketika Jakarta banjir malah orang-orang melaporkan, jika Semarang relatif aman, karena penanganan yang tepat, pompanisasi, dan sungai-sungai sudah dinormalisasi dengan sangat baik. Sungai bukan menjadi tempat yang menakutkan, namun dengan tanggul dan taman memberikan ruang terbuka bagi masyarakt untuk bisa sambil memelihara kali.
Kawasan bawah yang dulu langganan banjir menjadi tempat aman karena kali di dekatnya mendapatkan penanganan serius. Tanggul besar membuat kali menampung banyak air, sehingga antrian air ke laut bisa sejenak ngaso di kali-kali.
Kepemimpinan senyap. Hendrar jarang disebut orang, baik netizen ataupun media arus utama. Kalah tenar dengan Ganjar Pranawa, sebagai "atasan" dan juga jam terbang lebih tinggi. Kegiatan Ganjar  juga sering dibagikan dalam media sosial pribadinya.  Sangat wajar orang politik memainkan media untuk banyak hal, asal memang juga berdasar bukan hanya klaim apalagi membeli media atau menggunakan artis medsos untuk mengiklankan.
Pekan lalu melihat Semarang dengan progres yang bagus, eh tadi melihat teman membagikan tautan jika Semarang menjadi kota tebersih tingkat Asia Tenggara, dan memang demikian. Toh media nasional tampaknya tidak ada yang mengulasnya. Media belum melihat kiprah Hendrar seperti Jokowi di Solo misalnya. Entah karena Jokowi memiliki penasihat yang memang orang pers, sehingga bisa dengan cepat media menjadikannya kesayangan.
Jokowi mirip dengan Risma yang disukai media, pola kerja yang cekatan dan baik kemudian media melihat itu, meliput, dan tanggapan baik. Ini yang membuat nama mereka cepat melambung dan menasional. Tidak heran ketika ada pembicaraan jabatan lebih tinggi dua nama itu selalu ikut. Dua periode bagi Jokowi dan Risma, berbeda dengan Hendrar. Jabatan yang masih cukup singkat dengan capaian yang baik, dan sepi dari pembicaraan.
Berbeda pula dengan Ridwan Kamil. Kepemimpinan media sosial memang. Tidak ada yang salah, karena toh media sosial menjadi sarana untuk menyiarkan pembangunan, pun interaksi dengan warganya, bisa secara langsung malah. Dan banyak pejabat lain juga aktif dengan media sosial, termasuk  Ganjar.
Ridwan Kamil memang demikian moncer dan menjadi pembicaraan nasional malah ketika menjabat Walikota Bandung, entah mengapa sepi ketika menjadi Gubernur Jawa Barat. Padahal jauh lebih besar harusnya gaung pembangunannya. Cakupan pembicaraan juga seharusnya lebih luas. Eh malah makin sepi.
Ahok, memang sangat menyenangkan media, berita tidak usah dicari, dekat Ahok pasti jadi berita, baik soal prestasi, ngajak gelut siapa saja, ataupun sensasi yang ia buat. Toh suka atau tidak, ia paling sering masuk media dan menjadi bahan pembicaraan. Tidak usah meributkan soal slip mulut comelnya, di luar itu semua toh Ahok sumber berita.
Prestasi itu jelas nampak, dia juga memanfaatkan media dalam banyak kesempatan. Sah-sah saja dan itu juga penting. Toh kemajuan zaman perlu diakrabi. Viral yang sering melibatkan Ahok pun tidak jarang itu positif dan selalu diingat. Meskipun media sosial pula yang menjatuhkannya.
Dua sisi mata pedang yang bisa membantu atau melayukan, media sosial dan media arus utama memang memegang peran yang cukup signifikan. Era modern, pilar demokrasi memang bertambah dengan keberadaan media. Media baik sosial atau arus utama.
Kekuatan Hendrar ketika tidak menjadi banyak pembicaraan malah bisa menjadi kuda hitam. Dia orang partai. Cukup memiliki kekuatan dan jaringan. Â Bisa menjadi alternatif jika banyak kepentingan saling sandera atau memiliki catatan masa lalu yang sering menjadi ribet, apalagi jika itu menyangkut KPK atau korupsi.
Jarang terdengar pemberitaan soal korupsi dan juga bersitegang dengan dewan. Memang jika dewan diam itu mungkin karena "uang tutup mulut" kenceng, atau memang pintar mengelola potensi ribut menjadi biasa. Oli pembangunan ala Fadli Zon bisa saja terjadi. Sepanjang masih wajar, susah juga mengatakan itu salah. Utopis bicara birokrasi bersih seratus persen, plus kamar lain, dewan dalam hal ini.
Usia relatif muda, sama dengan Ridwan Kamil. Makin banyak pimpinan generasi 70-an yang siap bekerja dan berprestasi. Angkatan 60-an sudah ada Jokowi dan itu sangat baik. Regenerasi bagus, ketika angkatan manula biar menjadi sesepuh, mandheg pandhita. Menjadi negarawan, toh mereka sudah terlalu lama dengan kemandegan yang ada. eLeSHa.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H