Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

PDI-P, Demokrat, dan Tudingan Pusaran Korupsi

15 Januari 2020   19:23 Diperbarui: 15 Januari 2020   19:24 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hari-hari ini sedang hangat pembicaraan soal korupsi. Dugaan dan memang ada pemain yang melibatkan parpol pemenang pemilu.  Hal yang lumrah terjadi dengan adanya kecurigaan ketika pemenang pemilu sebagai apa saja. Logis karena pemenang adalah penentu dalam banyak hal. Jadi sangat wajar dan bukan hal luar biasa.

Wajar lagi, ketika memang sudah banyak data, fakta, dan bukti bahwa memang di lingkaran politik dan parpol itu menjadi biang korupsi. Tidak akan cukup satu halaman untuk membeber kasus korupsi yang menyangkut elit partai.

Ketika ada desas-desus korupsi mulai dari Garuda kemudian merembet pada kekacauan manajemen Jiwa Sraya, dan kemudian juga ditengarai pada Asabri. Tentu bahwa kondisi bobrok dan akut itu bukan baru kemarin sore atau hanya tiba-tiba dalam periode Jokowi dan PDI-P memenangkan pemilu dan presiden tentunya. Naif jika berpikir sesimple itu.

Narasi yang dikembangkan karena yang diduga terlibat itu pernah masuk istana menjadi staf khusus. Dan yang terbaru KPU menerima suap dari kader PDI-P. Yo boleh dan wajar tudingan tersebut. Presiden dalam awal periode kedua menyatakan, tidak akan takut apapun, tidak akan ada lagi beban, bebas untuk melakukan apapun.

Jawaban dan bukti adalah Erick Thohir melakukan gebrakan yang sangat mencengangkan. Diikuti Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mengambil alih aset Tomi Soeharto. Jangan anggap ini mulus dan tanpa perlawanan. Ini yang sangat menakutkan banyak elit negeri ini. Perlawanan  para pelaku kejahatan masa lalu yang kini bisa tercekik karena kekeringan.

Penting penyelesaian kasus korupsi itu menyeluruh, kerja sama KPK dan Kejaksaan serta Kepolisian, mengeroyok, lintas lembaga malah menjadi sangat ekselen. Polisi menyerbu kejaksaan, kejaksaan menyerbu KPK, dan KPK menguntit kepolisan, dan mereka bersama-sama memerangi korupsi di semua lembaga yang ada.

Pernyataan pembelaan diri dari masing-masing pihak bisa menjadi pintu masuk untuk mencari tahu, ada apa kog teriak kenceng. Lihat bagaimana elit Demokrat mencari-cari dan membawa-bawa pada keberadaan PDI-P dan bahkan banyak yang menuding Jokowi segala. Pun sebaliknya juga akan ada, bagaimana banyak pula pihak yang menyatakan kerusakan sudah sejak lama.

Ya iya lah kerusakan itu tidak akan sekejap terjadi. Mana ada kerusakan tiba-tiba. Dan pernyataan yang salingg silang sebenarnya bisa menjadi sarana untuk mendapatkan kebenaran yang paling mendekati dasarnya. Mengapa? Karena pembelaan diri berlebihan itu jelas ada sesuatu. Dan layak ditelisik lebih jauh.

Mengapa selama ini seolah korupsi tidak selesai-selesai? Ya karena tidak diselesaikan secara menyeluruh. Berkutat pada diri paling benar dan pihak lain salah. Ujung-ujungnya mainkan politik baperisme atau politik korban. Paling konyol ketika melibatkan agama dan Tuhan.

Penyelesaian tidak menyeluruh, merasa diri paling bersih, dan lembaganya paling baik tidak menyelesaikan masalah. Bebersih ala apapun tidak akan bisa menyembuhkan penyakit paling payah ini. Memang utopis ketika berharap bersih dari korupsi. Apalagi elit negeri pun meyakini bahwa korupsi oli pembangunan.  Realistis juga sih, meskipun sebagai pejabat bangsat juga sebenarnya.

Korupsi tidak cukup diselesaikan dengan hukum pidana. Pemiskinan dan hukuman mati, apapun risiko, pernyataan jelek, dan penolakan perlu menjadi prioritas. Darurat korupsi makin parah. Kekayaan negeri dicolong dengan seenaknya sendiri.

Rakyat sekian tahun hanya menjadi penonton, disuguhi permainan maling berdasi tamak yang tidak mengenal kata cukup. Kekayaan hasil nyolong dipakai untuk suap, dan lingkaran setan tercipta. Ironisnya tetap kaya dan makin kaya.

Pisahkan hukum, manusia, agama, dan politik. Selama ini kekacauan itu diciptakan sehingga orang bisa berkelit karena campur aduk. Maling adalah orangnya, tidak bersangkut paut dengan agama dan afiliasi politiknya. Toh selama ini dicampuradukan oleh kondisi yang diciptakana elit untuk tetap kaya raya dengan cara maling.

Waktunya bebersih dan bebenah. Ketinggalan sekian langkah karena sibuk mengurus maling-maling tamak dan berdasi dengan muka alim dan kemasan agamis. Ketika dilakukan penegakan hukum menciptakan peluang untuk mengaet pihak lain lebih buruk. Lanjutkan saja siapkan langkah untuk juga menjerat semakin banyak pihak, jangan malah diabaikan dan dilupakan.

Praduga bersalah jauh lebih mendesak dan penting diterapkan dalam kondisi dan kasus korupsi. Mengapa? Biar semua belajar bertangung jawab. Lihat saja selama ini hanya banyak omong tanpa bukti, tudingan yang sangat kuat pun menguar begitu saja.

Bebersih sehingga orang malah tidak terus menerus saling curiga. Nyatanya sudah disebutkan dalam persidangan megaskandal korupsi toh tidak ada tindakan lanjutan. Dengan aksi pembersihan, siapapun dan apapun pelakunya, justru memberikan energi positif bangsa ini. Tidak hanya kecurigaan dan tudingan. Namun benar-benar bersih. Asal bukan semata normatif dan prosedural.

Bangsa maju yang beradab, bukan bangsa yang biadab dengan pilar saling curiga dan saling sikut untuk mencapai kekuasaan. Saatnya untuk bermartabat menang dengan terhormat bukan karena khianat. Bangsa yang Berpancasila dan mengakui religius namun perilaku munafik di mana-mana. Miris.eLeSHa.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun