Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jawa Tengah Berwajah Pongah

14 Januari 2020   07:06 Diperbarui: 14 Januari 2020   07:00 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jawa Tengah Berwajah Pongah

Gubernur Ganjar pada akhir dan awal tahun lalu berseliweran dalam lini masa media sosial dan juga media arus utama, kunjungannya ke Katedral dan berjumpa dengan Uskup Agung Rubyatmoko dan para pegiat lintas agama, memberikan kesejukan. Pun kehadirannya di lereng Merbabu, pertapaan Gedono, disumbut para trapis dan pegawai berjilbab, angin surga berhembus.

Jauh sebelum itu, pemberitaan Ganjar dan Jawa Tengah yang kebanjiran investor, baik dari dalam atau luar negeri, memberikan harapan cerah. Lepas dari konsekuensi logis atas itu. Atau juga masuknya salah satu kota di Jawa Tengah menjadi bagian kota toleran di Indonesia, bahkan satu-satunya dari Pulau Jawa. Prestasi dan capaian bagus demi Indonesia lebih baik.

Eh tiba-tiba saja dikejutkan dua peristiwa yang sungguh mendalam melukai hidup berbangsa yang Bhineka Tunggal Ika. Plus satu sis di tahun lalu, minimal ada tiga kejadian sangat besar, dan itu Jawa Tengah.

Kisah pertama, di Gemolong, salah satu kecamatan di Sragen, ada anak mendapatkan perilaku pemaksaan dari sesama rekannya karena ia tidak berjilbab. Catat, ini rekannya, berbeda ketika pelaku adalah guru atau pembina. Ia sesama siswa. Bagaimana sesama siswa bisa melakukan intimidasi pada atribut siswa lain.

Kisah kedua, siswa dikeluarkan dari sekolah dengan alasan berlebihan berkomunikasi dengan lawan jenis. Dan pemberitaan baik media sosial dan arus utama berbicara mengenai ucapan selamat ulang tahun. Benar namun kurang proporsional. Ucapan ulang tahun adalah akumulasi akhir atas penilaian sekolah bagi pelanggaran siswa tersebut.

Miris adalah, ketika relasi dengan lawan jenis menjadi sebuah momok yang diatur dengan begitu keras dan ketat, lha seminari saja tidak demikian. belum lagi, lawan jenis bukan monster yang mengerikan, lihat kisah RS di Inggris, itu bukan lawan jenis.  Ada yang perlu perhatian, apalagi ini adalah dunia pendidikan umum, bukan pendidikan khusus. Azas berbangsa tetap harus dilakukan dan dijalankan.

Kisah ketiga, agak lama, pengibaran bendera organisasi terlarang di Sragen, lagi-lagi Sragen. Dalih itu siswa bukan guru. Coba bayangkan sekolah atau siswa mengibarkan bendera palu arit, apa yang akan terjadi? Kedudukannya sama kog, memang palu arit jauh  lebih keras hukuman dan pelarangannnya, dampak mengerikan berpuluh tahun sangat membekas. Dan sangat leluasa si ormas baru bubar itu dibiarkan leluasa merusak bangsa ini.

Jawa Tengah, kondisi keagamaan tidak sekental Banten, atau Madura, dan memiliki kultur abangan, seperti Solo dan  pantura pun agamanya tidak demikian kuat menguasai. Keagamaan masih memberikan ruang budaya dan toleransi, lihat saja Demak apalagi Kudus yang memiliki menara masjid berornamen Hindu. Toleran paling dasar, tidak menyembelih sapi karena menghargai kultur lebih tua.

Mengapa bisa demikian keras dan pongah dengan pemaksaan? Dan Sragen, bergeser usai Sukoharjo mendapatkan sorotan demikian kencang, bahkan dunia internasional. Dua kejadian di Sragen tidak bisa dianggap sepele dan sederhana. Perlu pendekatan lembut namun tegas. Benar pemidanaan tidak cukup dan kontraproduski, namun perlu adanya perhatian yang lebih lagi.

Pemaksaan kehendak dan pembiaran. Pembiaran dalam arti bahwa penyelesaian hanya dua model maaf dan melupakan. Dua hal yang bisa menjadi bumerang dan fenomena puncak gunung salju di lautan. Pendekatan yang perlu diubah, perlu dilihat lebih lagi, karena sudah tidak memberikan penyelesaian, malah cenderung menjadi-jadi.

Tarik ulur di tataran elit, dimanfaatkan oleh para pelaku yang masih ingin menjadikan dasar negara  yang berbeda. Lagi-lagi ini pembiaran sangat lama. Mereka telah merasuk ke dalam dunia pendidikan. Ini berkelindan dan ketika diselesaikan, akan berteriak memusuhi agama, manipulator agama akan berteriak kencang dan lantang. Lagi-lagi soal kait mengait, manipulator agama, politikus minim prestasi, dan para makelar yang kehabisan jalan untuk maling.

Mengapa Jawa Tengah? Pemilihan yang sangat logis, di mana kultur abangan yang sangat mudah ditakut-takuti dengan surga dan neraka, apalagi masif dan menyasar kalangan muda. Generasi dewasa dan tua, jelas tidak akan mampu diintimidasi, nah anak sekolah melalui guru dan pihak yang memiliki otoritas, dan itu guru sangat efisien.

Pendidikan yang telah mengalami penyusupan demikian dalam, memang perlu kerja keras dan kerja cerdas untuk bisa menyelesaikannya. Kehendak baik dari seluruh pemangku kebijakan, ketegasan untuk menyingkirkan minimal mengalienasi manipulator agama, menjadi penting dan mendesak. Lintas kementrian, sinergi peran dari berbagai latar belakang, bidang agama, pendidikan, dan keamanan perlu bekerja sama.

Egoisme sektoral perlu ditepikan, karena bagaimana mereka sudah demikian liat karena meleburkan diri dalam berbagai bidang. Lilitan yang akan diserukan sebagai permusuhan agama itu sudah direncanakan matang. Sejatinya tidak banyak dan besar kog, namun itu adalah dunia maya dan bukan nyata, hanya gaungan yang seolah besar.

Miris ketika Jawa Tengah yang demikian andap asor, lembah manah itu kini bermuka arogan, pongah, dan merasa paling benar. Secara umum Jawa Tengah masih aman, namun jangan dianggap sepele.eLeSHa.

 

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun