Beberapa  waktu yang lalu, dalam sebuah candaan Kompasianer Hadi Santoso  mengatakan saya sebagai panutan. Ini berlebihan bagi saya, eh Kompasianer Leya Cattlela ikut kalau saya adalah panutan. Saya menolak sematan yang terlalu tinggi itu. Eh, malah Mbak Leya mengatakan maunya seperti Denny Siregaar begitu?
Ah ini sih sudah beda planet, saya sih bukan apa-apa. sambil mau menuangkan tulisan dari guyonan ini, saya membaca buku Awareness, hadiah Kompasiane Teha Sugiyo, untuk ketiga kalinya. Entah mengapa selang setahun kog pengin baca lagi, dan ternyata pas dengan tema candaan tersebut.
Kebahagiaan itu lepas karena apa, jadi bukan karena apanya yang membuat bahagia. Berkaitan dengan sematan saya panutan itu, ketika itu membuat saya bahagia, lha kalau sudah sirna, usai, dan selesai, jadi menderita, sedih, dan merana. Â Karena kebahagiaan memiliki peran, panutan menjadikan bahagia.
Ini benar terjadi, dalam dunia yang digeluti bersama, dalam konteks ini K, sering orang bahagia ketika menjadi HL-AU. Benar, dulu, ketika melihat Kompasianer lain HL itu pengin banget, kapan ya bisa seperti itu, apalagi ada yang artikelnya hampir selalu HL. Lha kalau levelnya pilihan saja kadang-kadang kog ngarep HL setiap waktu yang menderita, dan benar demikian.
Atau melihat rekan lain setiap artikelnya selalu saja TA, dulu trending article, bukan NT, dan ketika ada perubahan NT dengan vote bisa puluhan, dan menendang artikel kita. Bisa merana melihat keriuahan canda dan kadang juga makian di lapak komentar. Seru dan panas kadang. Nah kalau memang tidak bisa menjanjikan dan menggoda dapat vote puluhan, ya syukuri saja jika hitungan jari.
Tolok ukur adalah apa, atau capaian pihak lain, ya menderita dan merana. Dalam konteks yang lebih luas, dalam hidup, hal ini juga sama saja. Bahagia jika memiliki ini dan itu, lah kalau ini dan ituya habis, hilang, atau sudah ketinggalan zaman? Merana bukan?
Pun demikian, ketika gaji, jabatan, kekayaan, prestasi sebagai sumber kebahagiaan, dan tiba-tiba ada kecelakaan dan semua itu sirna, apakah kebahagiaan itu juga ikut berakhir? Kan seharusnya tidak demikian. Itu karena sumber kebahagiaan adalah apa.
Orang bisa juga merana karena fokusnya pada yang bukan miliknya, namun apa yang diinginkan. Di atas itu gambaran apa yang ingin, apa yang pengin diperoleh mungkin bisa, mungkin tidak. Dan itu bisa  menjadi penyebab jauhnya kebahagiaan.
Menulis tidak lagi bebas, karena fokusnya pada keinginan untuk ini dan itu. Nah karena  ketidakbebasan membuat tulisan malah kaku, tidak mengalir, dan susah dipahami pembaca.
Kebahagiaan tergantung siapa
Kadang orang menggantungkan kebahagiaan karena dengan atau kepada siapa. Contoh paling mudah dan sering ya pasangan. Lha kalau pasangan meninggal kemudian merana. Muda-mudi mengatakan kebagiaannya adalah pasangannya, atau pacarnyalah. Lha memang dunia selebar daun sengon apa? Tidak harus demikian.