Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ucapan Natal Bukan Perkara Toleransi, Tetapi Lebih pada Pertimbangan "Politis"

9 Desember 2019   18:43 Diperbarui: 9 Desember 2019   20:08 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ucapan Natal "Politis", Polisi Lebih Toleran daripada Kemenag?

Artikel ini kanal politik, bukan soal hits, namun memang bicara politis bukan soal budaya atau kemanusiaan. Mengapa?

Satu, hanya ada di sini, bahkan Arab saja tidak sedramatis di sini persoalan ucapan Natal, artinya itu berbicara politik, agenda politik bukan agama. Agama hanya menjadi alat atau labeling yang sangat seksi. Para pelaku juga memiliki kecenderungan berafiliasi pada pilihan ideologis yang berbeda, lagi-lagi soal politik bukan agama.

Lagi bicara politis, karena bukan soal aturan agama, dogma, atau aqidah yang menjadi ulasan. Ini soal kehendak yang cenderung politis. Nyatanya banyak pula tokoh agama yang biasa saja, tidak berlebihan ketika menyangkut soal ucapan ini.

Alasan lagi toh yang riuh rendah hanya ucapan Natal. Mana ribut soal Nyepi, Waisak atau yang lainnya. Artinya bukan soal agamanya, namun soal pengaruh dan dampak, itu kaitannya jelas politis.

Ketika seorang Kapolres mengatakan silakan polsek memasang ucapan Natal dan ada yang melakukan sweeping, akan kita selesaikan. Ini pun soal politis, benar bahwa itu soal keamanan dan ketertiban yang menjadi wewenang polisi. Namun apakah akan ada pernyataan seperti ini ketika peta politik tidak seperti hari-hari ini ? Lagi-lagi ini soal politis, bukan semata toleransi.

Itu beberapa alasan mengapa masuk kanal politik, bukan pada kanal budaya atau humaniora. Apakah  ucapan Natal ini sebuah keharusan dan akan berdampak pada keimanan atau keagamaan seseorang? Saya pribadi tidak, pun bagi penganut agama yang merayakan Natal. Ulasan ini berangkat dari sebuah komentar di media sosial saat saya membuat status kapolres meminta memasang ucapan Natal, kemenag kapan. Komentar di sana menyatakan, saya tetap merayakan Natal, santai saja, demikian kira-kira.

Jawaban saya adalah, ini bukan soal perayaan atau ucapan, namun soal bagaimana toleransi itu malah diabagikan oleh Kemenag yang sejatinya adalah panglima dalam bersikap toleran. Polisi justru menjadi pendukung ketika ada aksi kekerasan, pemaksaan kehendak, atau merusak spanduk misalnya.

Menjadi aneh dan lucu, ketika polisi menyatakan pasang ucapan, dan ketika ada sweeping akan mendapatkan tindakan tegas. Itu adalah tugas Kemenag dengan mengatakan kami memasang ucapan selamat Natal dan tolong polisi kawal jika ada apa-apa tindak dengan tegas. Itu yang saya maksudkan.

Miris, lihat saja kantor-kantor kemenag  pernah tidak melihat ada ucapan, baik Natal, Galungan, Imlek, Waisak, atau Nyepi, atau hari raya lainnya.  Artinya apa? mereka abai, pada hal yang sangat sederhana, kecil, dan sejatinya bisa melakukan. Beaya tidak mahal kog, ini soal kemauan. Jika tidak mau keluar, minta saja pada sponsor, salah satu toko di kawasan itu pasti mau membuatkan. Ini soal kehendak baik.

Berdekatan dengan itu adalah pelarangan sebuah acara budaya dan agama di sebuah kawasan, oleh lagi-lagi orang atau kelompok yang itu lagi itu lagi. Dan lagi-lagi kemenag diam sejuta bahasa. Tidak ada pernyataan secara publik permohonan maaf, seolah mereka tidak ada nyali untuk mengutuk apalagi membekukan kelompok model ini.

Jangan kaget, ketika intimidasi terulang, kejadian perusakan, maaf tidak tahu namanya, sarana peribadat agama di Bromo, kalau tidak salah. Lagi-lagi orang yang tidak bertangung jawab melakukan perusakan pada sarana umum yang sejatinya dijamin oleh negara bahkan UUD, tidak semata UU, ini ada dalam UUD.

Seruan atas nama kelompok besar, banyak, dan merasa paling saleh, paling suci, dan paling benar, tentu merusak Bhineka Tunggal Ika. Dasar negara sudah selesai dengan adanya Proklamasi dan UUD 1945 dengan landasan Pancasila. Sah telah diketok oleh bapa pendiri bangsa. Mengapa kini kembali meributkan hal-hal yang tidak lagi fundamental itu.

Aneh dan lucu, toh dalam pemilu pun para penganut paham agama sebagai ideologi bangsa tidak pernah bisa bersaing cukup dignifikan dengan partai nasionalis. Artinya bahwa memang banyak dan dominan rakyat bangsa ini memilih Pancasila bukan agama sebagai dasar bernegara. Toh tidak ada yang bertentangan mengenai dasar negara dan agama.

PAN pun mulai sadar dan mengatakan surga dan neraka bukan lagi jualan yang menjanjikan dalam berpolitik. Padahal kan semua paham bagaimana mereka selama ini berpolitik praktis. Neraka, surga, partai setan dan partai Allah pun menjadi sebuah gaya berkampanye menarik simpati.

Jelas memberikan faktualisasi bahwa partai politik saja sudah tahu ke mana arah angin berbangsa yang makin nasionalis, bukan lagi agamis. Ingat ini bukan berbicara soal antiagama tentunya, tapi menempatkan pada posisi yang semestinya.

Sering malah campur aduk sehingga saling silang tidak karuan. Dan itu memang oleh sebagian faksi dan kelompok dalam berbangsa ini disengaja. Mencari keuntungan dengan cara  yang tidak patut dan semestinya. Miris sebenarnya, sekian lama pembiaran demi pembiaran terjadi, dan seolah baik-baik saja.

Kemenag sebagai kementrian seluruh agama, bukan agama tertentu sebagaimana pernyataan Menag Fahrul Rozi ketika usai dillantik sangat menyejukan dan memberikan harapan Bangsa Bhineka Tunggal Ika benar-benar terwujud. Masih perlu waktu dan pembuktian mengubah wajah birokrasi Kemenag yang toleran dan berdasar Bhineka Tunggal Ika secara mendasar dan sejati.eLeSHa.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun