Kemarin, 212 yang begitu "melegenda" mengadakan sebentuk kegiatan yang yah begitu-begitu saja. Satu pihak mengatakan baik, besar, benar, dan sis lain sebaliknya. Pesimis pasti kecil, sudah menyusut, tidak ada faedah, dan tudingan senada lainnya. Yah wajar dan semua pada sisi yang berlawanan memang.
Sampai hari ini pun masih senada. Satu pihak mengatakan ratusan ribu hingga jutaan, didukung 202 negara bla...bla... Pada bagian sebaliknya mengatakan, negara di dunia hanya 196. Masing-masing dengan argumen kekanak-kanakan yang sama juga dengan bapakku pilot dan bapakku astronot ala anaak SD.
Mengapa menjadi riuh rendah? Tidak hanya kemarin, bahkan  hari ini masih berseliweran meme, ataupun berita, dan kadang ajakan atau malah hasutan, salah satunya soal Anies yang harus dipecat. Coba apa bedanya dengan para pelaku reuni dengan yang menolak jika hanya demikian terus yang dilakukan. Satu memuja satu menista dan sebaliknya.
Jadi ingat dalam sebuah bukunya Antoni de Mello berkisah mengenai pengemis miskin yang hendak tidur di samping sungai. Ia mengambil latar belakang barat. Musim dingin sedang berlangsung, si pengemis merapatkan mantel hangatnya yang kumal dan sudah banyak bolong. Sesaat sebelum tidur ia dihampiri seorang gadis bermobil mewah. Si gadis mengajaknya tidur di rumahnya. Sampai rumah yang sangat mewah itu, ia tidur di kamar pelayan dan makan makanan yang belum pernah ia makan.
Sesaat sebelum tidur, usai berganti dengan gaun tidur si gadis ingat teman barunya. Ia datangi kamar si kawan dan bertanya apa makanannya enak, apa kamarnya cukup hangat. Ia jawab seumur hidup belum pernah makan makanan seenak itu dan kamar sehangat dan semewah itu. mengapa belum bisa tidur apakah karena perlu teman, jika iya, bergeserlah sedikit, sambil si gadis berbaring, dan si pengemis jatuh ke dalam sungai yang sangat dingin.
Pagi ini membaca seorang rekan media sosial membagikan  artis medsos yang menyoroti Anies dan aksi reunian sebagai tindak mencari kekuatan dan sebentuk afirmasi bahwa ia telah menang dan perlu kekuatan untuk mendapat legitimasi atas jabatan gubernurnya. Apa bedanya dengan yang kemarin berseru gubernur Indonesia coba?
Kedua kubu sama-sama kanak-kanak yang melihat semua secara ekstrem dan sama-sama tidak semudah membalikan telapak tangan, dan kadnag juga tidak berguna kog. Apa sih gunanya memperolok yang mengatakan 5000 bus, kapal pesiar, pesawat dicarter untuk menghantar umat ke Monas. Mereka juga paham, itu hanya bualan, dan sebagian lagi memang tidak paham. Memangnya dengan menjelaskan ketidakmungkinan keadaan menjadi baik, tidak demikian. Mereka bahkan bisa menjadi lebih ngotot.
Soal jumlah juga terus saja diulang-ulang, bahkan yang pada saat itu sampai menghitung luasan kawasan dengan segala tetek bengeknya. Memangnya ngaruh dan kemudian berubah? Tidak. Mereka tidak akan mau berubah. Mereka tidur dengan fakta, sama dengan tidurnya yang memaksakan mereka untuk mengerti fakta. Tidak ada yang mau memberikan kesempatan untuk membiarkan.
Fakta tidak menjadi penting bagi orang yang berperilaku demikian. Ini soal psikologi massa yang memang sudah diciptakan secara sengaja. Mereka paham betul siapa yang akan menjadi pengikut mereka. Menjadi penting adalah jangan berbicara fakta, namun lokalisir para simpatisan untuk tidak ikut arus yang akan membawa mereka pada kondisi fanatis yang bak babi buta.
Caranya bukan menjejali dengan fakta yang penuh kesinisan namun diajak berpikir kritis dan cerdas melihat dinamika yang ada. Jelas yang datang jauh lebih sedikit berarti sudah mulai rasional. Panitia dan Anies bicara jutaan, toh pedagang di sana bicara tidak banyak pembeli. Posisi simpatisan bisa terhenti tidak lagi ikut.
Dalam sebuah komentar ada yang maish ngotot itu adalah kegiatan agama. Ya biar saja dengan pemahamannya tidak perlu dibantah, apalagi sampai dimaki, karena dengan demikian malah menjadi kebencian baru bukan solusi untuk membuat mereka sadar.