Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Wacana Presiden Tiga Periode dan Stafsus Milenial ala Jokowi

22 November 2019   21:17 Diperbarui: 22 November 2019   21:25 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Wacana Presiden Tiga Periode dan Stafsus Milenial ala Jokowi

Cukup menarik dan menjadi perbincangan cukup hangat dua hari ini, hanya mungkin akan mundur teratur karena Ahok menjadi Komut Pertamina jelas lebih sensasional. Pemilihan kaum sangat muda menjadi stafsus cukup mengagetkan, sehingga ketika pimpinan MPR mengatakan kemungkinan presiden tiga periode akan menjadi pembicaraan kalah mendapatkan perhatian.

Presiden tiga periode dan sistem yang bekerja

Dapat dipastikan akan terjadi pro dan kontra yang amat sangat. Mengapa? Karena keberadaan sistem era Orba yang berkuasa puluhan tahun namun dengan perkembangan kemajuan yang tidak signifikan. Alah menjamurnya politik KKN, dengan nepotismenya yang hingga hari ini masih demikian kuat.

Pemerintahan dan birokrasi lamban, mata doitan, dan korup jelas karena pernah hidup dalam era otoriter sangat lama. Masa di mana sudah harus menyiapkan kaderisasi, malah mendengar suksesi jadi subversi.  Jangan kaget, potensi-potensi itu  banyak yang mati dan layu sebelum berkembang.

Penyiapan generasi berikut untuk menjadi pemimpin sangat minim. Nepotis dan koncoisme di BUMN, militer, dan polisi puluhan tahun, jelas tidak membawa anak-anak terbaik bangsa ini bisa terdidik menjadi pemimpin yang handal. Malah mirisnya menjadi para penjilat dan pemuja kekuasaan sistim instan.

Basis prestasi dan kinerja menjadi ompong, dan banyak yang mengandalkan uang, otot, dan melotot semata untuk meraih jabatan. Sistem pemilihan berubah, namun perilaku mentalitas para pelaku masih identik.

Pembersihan rival politik dengan cap OT jelas membuang jutaan masa depan orang-orang kompeten, dan diisi dengan para penakut namun yahud dalam menjilat. Jangan salahkan jika kini seolah kebingungan mencari figus mumpuni secara komprehensif.

Manipulator Agama dan Potensi Kepemimpinan

Ketika manipulator agama demikian masif menguasa panggung birokrasi, politik, dan aneka bentuk berbangsa sekian lamanya, jangan harap dari etnis kecil dan sedikit, meskipun ekselen bisa berbicara banyak. Tentu bukan semata yang etnis, agama, suku, dan anak bangsa lain dengan label sedikit akan tersingkir. Cap OT dan komunis sebagai ultrakiri menjadi senjata bagi ultrakanan untuk mengambil alih dan kini benar-benar tersesat pada kutub yang berseberangan.

Miris ketika bisa lolos dari yang ultrakanan, jatuhnya pada perilaku korup. Ini masalah serius sebagai bangsa ketika mau membangu negeri. Orang-orang terbaik sudah terbungkam oleh cap komunis masa lampau, menghasilkan generasi ketakutan. Nah generasi penakut ini pun jatuh pada ekstrem lain, banyak yang menjadi  manipulator agama, dan kadang juga tamak dan malingan dalam korupsi.

Sistem belum bisa bekerja, masih mengandalkan sosok. Termasuk dalam pemilu, masih susah untuk memperkenalkan sistem dan ide keren dalam visi misi. Orang, pribadi, sosok, dan ketenaran seseorang masih menjadi dominan. Cemar, bangsat sekalipun, jika sudah diyakini, dilabeli agamis, massa masih memilih.

Bagaimana sosok, sangat mungkin mengubah apa yang baik sekalipun sebagai buruk. Contoh nyata Jakarta. Bagaimana Anies mengubah pemandangan Jakarta yang berkemajuan kembali ke posisi semula, mundur bukan maju. Jelas dalam perencanaan pembangunan modern, ia nyatakan buruk, bukan karena memang buruk, asal tidak suka. Toh Jawa Barat dan Kota Surabaya menggunakan dan baik-baik saja.

Artinya, sosok, pribadi, dan orang masih jauh lebih menentukan dari pada  seharusnya sistem. Jika sistem yang bekerja, mau berganti ribuan kali dalam satu periode tidak menjadi masalah. Pun sebaliknya.

Milenial yang diberikan panggung.

Ini menjadi penting, selain mereka juga akan menjadi penerus estafet pembangunan, pun sangat penting untuk menyingkirkan generasi sepuh, yang kadang ngengkel, merasa diri paling tahu, paling paham, dan paling segalanya. Ingat generasi sepuh, ini bukan soal usai, namun juga perilaku dan keyakinan di dalam berpolitik.

Feodalisme. Bagaimana mereka ini sejatinya adalah generasi gagal yang hanya mengandalkan warisan . Termasuk warisan jabatan dan nama besar. Miris orang-orang demikian yang terus merangsek untuk mencoba kembali menjadi bintang dan penguasa tunggal. Baik berasal dari militer ataupun birokrasi sisa Orba.

Jangan dipikir usai 21 tahun reformasi sudah bersih dari perilaku ini. Lihat saja  gagasan untuk menolak generasi lebih muda mulai terlibat dalam pemerintahan. Siapa saja tokoh yang mengangsurkan nama-nama tua dan berciri tua dalam banyak hal dan gagasan.

Mereka pribadi-pribadi susah berubah. Orientasi masih kepada diri dan kelompok dulu. Mereka masih berpikir lamban,  birokrasi gemuk, berbelit, dan merasa sudah cukup dalam banyak hal. Kemajuan itu dianggap pengganggu bagi mereka. Karena selama ini mereka menikmati keadaan itu.

Gagasan, ide, dan visi ke depan sangat pendek. Jauh ke depan adalah pemimpin masa depan itu. jika hanya bisa meneropong, dua tiga tahun buat apa jadi pejabat tinggi negara. Jadi saja ketua kampung dna menjadi raja kecil di sana.

Keberadaan staf khusus berusia sangat muda ini menunjukkan visi Jokowi untuk bangsa ke depan yang progresif. Tidak lagi bisa mengandalkan generasi sepuh yang susah bergerak cepat, inginnya leha-leha saja.  Jelas akan dilindas zaman jika demikian.

Sama saja era android masih berpegang teguh pada sistem hape, konvensional hanya untuk sms dan pesan saja.  Ingat ini hanya konteks dan konsep berpikir. Kemajuan harus dikuti untuk bisa bersaing dengan negara besar lainnya. kepemimpinan itu perlu dipersiapkan, bukan hanya mengandalkan koneksi semata.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun