Agus Raharjo Kala Jadi Polisi India dan UAS
Agus Raharjo di ujung kepempinannya menganjurkan para petugas KPK menanggalkan atrubut keagamaan ketika bertugas. Yang ia jadikan contoh adalah kopiah haji. Ketika di luar kerja silakan, apalagi pas menangkap, dari pada ribet. Setuju sepenuhnya dengan ide dan gagasan pimpinan ini, namun mengapa sekarang?
Di dalam waktu yang berdekatan, mereka juga mengundang UAS untuk mengadakan ceramah, peneguhan soal integritas. Gagasan baik sih, hanya masalahnya mengapa ketika banyak tudingan yang mengarah pada penguasaan KPK oleh kelompok tertentu, eh mereka seolah sengaja menunjukkan keberadaan mereka yang sangat eksis?
Mengapa tiba-tiba Agus sebagai pimpinan mengatakan mengenai label, atribut, pakaian dan kelengkapan yang menunjukkan simbol-simbol keagamaan itu, ketika bekerja. Lha memangnya baru kali ini, atau baru sadar bisa menimbulkan potensi masalah?
Memang sangat mungkin karena ikut semangat pemerintah yang sedang menggalakkan  aksi untuk menekan para pelaku manipulator agama. Jika iya, patut diacungi jempol. Menjadi pertanyaan dan miris adalah, mengapa baru sekarang?
Menag dan jajaran lain sudah sebulan lalu kog. Mosok baru sadar, atau baru berani? Ada beberapa hal yang bisa dilihat untuk dicermati lebih dalam;
Pertama, seolah menjadi polisi dalam film-film India, yang datang pasti terlambat sekian langkah dari para pelaku kejahatan. Jadi jangan memikirkan polisi India atau polisi Taliban seperti desas-desus selama ini lho ya. Ini hanya meminjam istilah yang pas soal kedatangan dan pernyataan telatnya.
Kedua, terllambat sebagai sebuah institusi ketika mengatakan mengenai atribut "berlebihan" mengenai identitas pribadi ketika sedang bekerja. Ini seolah identitas khusus yang sudah sekian lama kog. Ke cenderungan AR baru berani lebih kuat dari pada baru tahu bahwa itu berpotensi menjadi persoalan.
Ketiga, maaf, jika baru berani, dan juga melihat rencana pemerintah, berarti kepemimpinan sangat lemah. Tidak memiliki sebuah gebrakan yang nyatanya memerlukan inisiatif dari luar dan pihak lain serta baru ikut di belakangnya. Ini jelas bukan seorang pemimpin yang bagus.
Keempat, sangat mungkin dikuasai oleh kelompok yang memiliki kekuatan. Hal yang lagi-lagi sangat mungkin, kuat uang, jaringan, atau massa mungkin. Melihat pernyataan yang sangat terlambat dan juga mengambang itu.
Kelima, keberadaan WP yang ditengarai ada faksi dan kemudian mengundang pribadi yang sangat lekat dengan ideologi tertentu, susah mengatakan bahwa baik-baik saja di dalam tubuh KPK. Seolah menantang dan mempertontonkan kepada pemerintah dan publik, bahwa mereka "tidak takut" dan sejalan dengan ideologi penceramah itu.
Keenam, pengakuan pimpinan kalau sempat mencegah kedatangan UAS, memberikan dua hal yang patut dicermati lebih dalam lagi.
Satu, kelompok yang mengundang memiliki power, kekuatan, dan kekuasaan yang "lebih" dari pada pimpinan. Jelas ini masalah besar bagi sebuah lembaga, ada lembaga di dalam lembaga. Adanya pimpinan yang kalah dengan karyawan.
Dua, isu selama ini mengenai faksi itu menemui titik terang kebenarannya. Miris jika benar-benar demikian, tanpa ada tindakan lanjut yang semestinya. Bagaimana pimpinan bisa dikadalin anak buah.
Ketujuh, potensi benar adanya kalau ada "kekuatan" lain, ketika keluar ancaman " si pengundang" akan dipriksa. Lha yang meriksa apa berani, wong nyatanya bisa mendatangkan orang luar ke dalam saja pimpinan tidak berdaya kog.
Kedelapan, jadi bagaimana pertanggungjawaban kepada bangsa dan negara atas kinerja selama ini. Jangan-jangan  ada pula perilaku tebang pilih kasus, kawan atau lawan, dan sebagainya. Lebih mengerikan jika lawan politik dihabisi denga isu korupsi yang mereka tangani.
Seolah sederhana saja apa yang ketua nyatakan mengenai pakaian identitas private itu, pun kedatangan UAS, apalagi ada yang mengatakan salahnya di mana pengajian dan peneguhan karakter. Â Seolah sesederhana dan sesepele itu. Padahal itu penyakit akut bangsa ini.
Selama tidak ada pengakuan dan keberanian menyatakan KPK bermasalah, susah melihat bagaimana KPK mau disembuhkan. Bagaimana mau obat kalau merasa baik-baik saja. Salah satunya ya jelas ini. bagaimana mereka dibangun selama ini.
Obat seperti apa itu baru bisa dilakukan jika mau diperiksa dan menemukan persoalan bukan persepsi apalagi opini. Selama ini sama sekali tidak ada. Dan kapan sembuh. Toh penyakit dalam banyak segi hidup berbangsa mengenai ketidakjelasan yang selalu dipelihara.
Kepemimpinan menjadi penting, bagaimana pemimpin itu harus memiliki visi, misi, dan program yang jelas, terukur, dan terutama independen. Bagaimana ketika mereka ketakutan terhadap anak buah namun merasa tidak lagi bebas karena adanya gagasan dewan pengawas. Ini soal kepemimpinan bukan soal dewan pengawasnya.
Sayang bangsa sebesar ini harus selalu menjadi bangsa biasa-biasa saja karena penuh dengan pejabat dan elit tamak, penakut, dan mudah dibeli demi kepentingan diri dan kelompok. Saatnya bebenah dan melaju kencang menuju Indonesia yang jauh lebih baik.
Syukur bahwa hanya tinggal hitungan hari akan lahir kepemimpinan yang baru. Harapannya agar dengan gairah baru, darah baru, dan orang-orang baru menjadi lebih baik lagi dan bukan hanya berharap terus.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H