Prof. Â Felix Tani Pilihanku
Dengan segala hormat dan maaf pada kandidat best opinion, bahwa saya dengan tanpa sengaja telah memilih Prof. Felix Tani. Asli tidak sengaja, nanti masing-masing kandidat akan saya kupas. Kali pertama ada info sudah keluar para nominator, saya membuka dan ada nama Felix Tani, vote langsung dan baru membaca bahwa itu kategori best opinion, dan baru membaca nama-nama lain.
Leya Cattleya, Â Kompasianer cukup baru ini, jelas tidak patut hanya level Kners, jauh di atas itu kelasnya itu. kaliber internasional, mosok sama dengan saya penulis kelas kampung, bukan siapa-siapa. Jadi saya tidak menyesal tidak memilih Mbak Leya, bukan karena kapasitasnya kurang, malah berlebihan. Apa kata dunia coba, jika yang mereka dengarkan malah turun kasta begitu tinggi.
Jadi untuk Mbak Leya sama sekali tidak ada kata sesal dan permohonan maaf, bukan karena tidak respek, justru karena sangat mengormati beliaulah menempatkan posisi yang semestinya. Ini sama saja memilih Pak Jokowi atau Pak Prabowo jadi RT, kan sangat tidak pada kapasitasnya.
Edy Supryatna. Nama yang identik dengan Mbak Leya, Pak Edy sebagai wartawan profesional, jelas jauh lebih dari para pemai amatiran. Kedudukannya sebagai guru para pemain Kompasiana yang lain, bukan pada kelas Knival beginian. Ilmu beliau jauh di atas kualifikasi saya yang pernah menang pada kategori ini, ya saya bangga kalau dipersamakan dengan Pak Edy, tapi kasihan Pak Edy yang turun kelas terlalu jauh.
Tentu bukan merendahkan K, namun memang K itu ajang para penyuka dunia tulis menulis level amatir. Untuk Pak Edy banyak ilmu dan pengalaman bisa saya timba. Terima kasih banyak, dan saya tidak perlu memohon maaf karena kapasitas Pak Edy bukan sekelas ini.
Ryo Kusumo, waduh kalau ini asli saya memohon maaf sebesar-besarnya, ini sih 11 12 la h dengan saya, dan OM Ryo di atas saya. Sama-sama kandidat 16 dan saya yang menang, kelihatannya soal hoki semata deh waktu itu. Kemarin soal keduluan ngevote, Mas Felix. Nanti soal nama yang ini akan saya bahas pula.
Maaf Om Ryo nama Anda ada di posisi layar, dan yang pas dalam penglihatan saya langsung vote, saya pikir bukan kategori ini. ini asli bukan satire atau basa-basi. Serius, mohon dimaafken, lha tiap saat becanda bareng nanti dikira abai pada kawan grup becandaan. Kan refot.
Hattrick nominasi, jadi layak jika tahun ini beliaulah pemenangnya dan sangat pantas. Semoga saja pemilihnya banyak. Dan era beliau memang kali ini. Â Sangat mungkin bisa menang.
Himam Miladi, akun ini harus benar-benar saya mohon maaf, sepertinya sama sekali belum pernah sekalipun berinteraksi dengan sengaja saya. Baik vote apalagi berkomentar. Jadi tidak bisa berpanjang lebar berkaitan dengan beliau. Tidak cukup luas untuk menilai, mau mendukung ataupun tidak. Sekali lagi mohon maaf.
Felix Tani. Nah ini yang agak panjang kali lebar dan luas pula. Bagaimana tidak, sejak 2014 saya masuk K sudah menikmati sajian serial Penelitian. Serial benar-benar dalam  arti berseri, kalau tidak salah ada 100-an.
Dilanjutkan dengan serial Revolusi Mental, yang dikemas dalam sebuah humor. Ini pun ilmu pengetahuan dari sana saya banyak belajar. Pantas jika beliau mengangkat saya bersama Mas Aji dan Prof. Pebriano menjadi muridnya. Sama sekali kami tidak pernah merasa menjadi murid tapi, he...he...
Bersama Mas Felix pula kami pernah bersama merajai NT dalam sehari dengan tema saya. Beliau membuat artikel saya memakai kaca mata hitam karena malu berkaitan dengan sebuah artikel saya yang curhat keadaan desa waktu itu. dan benar-benar heboh, karena begitu ramainya kami becanda waktu  itu.
Salah satu Kompasianer yang menjadi rujukan saya, label biru, wira wiri HL dan pemmbaca, pengevote, ataupun komentar pasti ramai. Coba orang baru, masuk belantara, melihat begitu siapa yang tidak ngeper duluan. Apalagi kalau sudah menulis ngeledek orang dalam humornya, haduh gak akan marah tapi nggondok tingkat maut yang tidak tersalurkan.
Saya juga salut pada beliau yang sering menjadi bahan candaan dalam kisah Pastor Poltak saya. Biasanya tidak lama berselang akan hadir artikel humor beliau dengan tema saya.
Satu yang menjadi alasan saya ngevote itu karena pas pada layar itu asli, bukan basa-basi dan juga bukan karena hendak mendukung beliau. Ini limarius bahkan. Â Alasan pendampingnya saya kasihan, lha sudah menahbiskan diri jadi pastor, eh suhu kami, mosok kalah dengan kami. Kami bertiga masing-masing pernah masuk nominasi, bahkan Prof. Peb kalau gak hattrick, saya malah menang.
Era keemasan beliau sudah lewat memang, nah vote saya satu sepertinya gak berdampak banyak, kalau menang jadi patut lah mosok mengaku guru malah kesalib eh kesalib murid kan gak lucu.
Siapapun pemenanngya dalam kategori ini selamat, capaian yang memang pantas, dan harapannya masih tetap bercanda bareng usai Knival nanti. Konon ada kebiasaan usai menang atau nomine hilang dari jagad K.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H