Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

PSI Hati-hati, Jangan Emosi

15 November 2019   19:07 Diperbarui: 15 November 2019   19:10 696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perilaku PSI dalam kinerjanya yang belum bilangan bulan cukup membuat banyak pihak terhenyak. Paling fenomenal jelas Wiliam di Jakarta yang membuat Gubernur Anies menjadi sorotan berbagai pihak. Ketua dewan pun menjadi kritis dan juga anggota lain ikut menyatakan koreksi telak. Tidak ketinggalan ICW juga mengatakan yang senada.

Miris yang di Surabaya, mungkin, ingat mungkin terinspirasi rekannya di Jakarta, maka anggota dewan ini melempar rancangan anggaran yang ia nilai janggal atau keliru. Dalam pemberitaan, akhirnya si "pelempar" ini izin ke kamar kecil dan tidak kembali. Sangat mungkin ada yang salah dan reaksinya berlebihan. Sekali lagi sangat mungkin.

Kisah ini sejatinya tidak jauh berbeda dengan apa yang sudah terjadi selama kampanye. Keberadaan PSI dengan generasi muda, belum banyak terbelit budaya dan tabiat masa lalu, terus jargon-jargonnya juga baru sangat mengganggu kaum old. 

Sekian lama sudah berjalan, juga ternyata mereka tidak cukup menjanjikan, sehingga hanya memiliki wakil di beberapa kota dan provinsi, toh ternyata mereka tidak ciut nyali, malah ada yang lebay, dan off side.

Sangat wajar, masih belum lancar dan perlu banyak latihan. Namun ingat, ini politik. Dan tidak ada kata teman dalam berpollitik. Semua adalah lawan ketika saling mengait dan mengganggu kepentingan.

Dalam anggaran hampir semua senada, meskipun satu dua menaruh curiga ada pula yang meradang, seperti Nasdem dan Gerindra, tetapi ketua dewan dan partai gede seperti PDI-P sejalan. 

Namun jangan kemudian terlena, ketika berbicara balapan mobil listrik Prasetyo Edy langsung berbeda. Jangan lihat satu musim, itu untuk jangka panjang, harga kamar hotel bisa berkali lipat. Ketika kader PSI meminta gelaran balapan mobil listrik dicoret.

Ingat banyak keanehan dan kejanggalan, soal kemahalan, mengenai skala prioritas, bahkan konon katanya mengalihkan dana rehap sekolah untuk dana balapan. Toh sudut pandang langsung berbeda, belum lama, masih dalam satu koridor pembicaraan anggaran. Jelas bahwa PSI perlu banyak belajar politik.

Perlu diingat dan diperhatikan oleh PSI, jika macet, keputusan yang diambil adalah voting. Teman yang sejalan itu penting, belum tentu juga yang berbicara di depan media atau depan sidang akan menentukan hal yang sama dengan yang terjadi. 

Ketika  banyak membela kepentingan rakyat, namun jangan lupa, cari kawan dan rekan di dalam pembelaan itu. Voting itu bisa  sangat menyakitkan.

Rakyat, media sosial, change.org sebagai sarana petisi untuk memberikan tekanan publik sudah tidak ada artinya lagi, jika keputusan ada di tangan dewan. Hal ini  sangat penting, jangan dilupakan, dan sangat mungkin PSI menjadi bulan-bulanan semata. Riuh rendah toh kalah dalam keputusan akhir.

Pengalaman Ahok bisa menjadi cermin bagi PSI, juga pengalaman gagal melampaui PT, itu bukan karena kegagalan mereka semata, namun karena strategi berpolitik yang tidak tepat. Ngeli aja keli, menjadi penting. Memiliki integritas di dalam berpolitik. 

Toh yang dipuja saat ini masih maling, belum sampai orang berkualitas. Lihat serbuan kepada Ahok. Apakah karena ia Krsiten, China, atau bekas napi? Bukan karena ia berani melabrak pelanggar aturan.

Pelanggar ini masih demikian kuat, banyak, digdaya, dan memiliki pendukung kelaparan yang sangat mudah digerakkan. Kekuatan tak terlihat itu mengerikan, mereka jauh lebih berkuasa dari sekadar DPR atau bahkan presiden. 

Lihat saja itu hiruk pikuk di pusat. Presiden menang, toh tidak leluasa. Apalagi daerah. Parpol pun masih sangat mungkin digerakkan kepentingan kekuatan yang tidak  kelihatan itu.

Politik itu tidak sesederhana matematika. Benar salah dalam politik sangat bias. Hitam dan putih pun tidak ada, abu-abu menjadi dominan, untuk beralih menjadi hitam atau putih dengan cepat. 

PSI jangan menjadi demikian naif melihat politik dengan kaca mata pasti demikian. Jika demikian  sangat mungkin menjadi tidak berguna, habis sebelum memberikan warna.

Sayang apa yang sudah dirancang, sudah direncanakan, dan harapan baik itu ada bisa menjadi pupus, layu sebelum berkembang karena salah dan tidak bijak di dalam bersikap. Tidak salah, namun tidak tepat di dalam membawa diri.

Di dalam sarang penyamun, jangan menjadi tokoh agama yang berkotbah, tetapi jadilah penyamun yang bisa membawa penyamun untuk bertobat. Apakah mau penyamun dikotbahi? Jelas tidak. Jangan juga malah ikut jadi penyamun yang jauh lebih bengis dan keji tentunya.

Ahok telah menjadi contoh yang jelas bagaimana politik bisa sangat kejam. Kawan bisa menikam, apalagi lawan. Mereka menjatuhkan Ahok bukan karena ia berprestasi, namun karena ia menjadi karang penghalang kepentingan mereka selama ini. meskipun bagi si bloon seperti PA 212 yang menyatakan Ahok produk gagal, karena ia si gagal yang tidak mau berkaca.

Siapa yang bisa menyatakan dengan waras kalau Ahok tidak membawa perubahan, artinya yang menyangkal itu tidak waras. Sesederhana itu. Apalagi kelaparan.

Kisah dari almarhum Sophan Sopian juga sangat mungkin bisa menjadi pembelajaran bagi PSI. Bagaimana uang beredar di kalangan dewan itu sangat biasa. Jangan sampai teriak-teriak bersih, memberantas kecurangan, dengan keluguanya nanti sangat mungkin dicokok KPK. Siapa bisa membantah?

Jaga diri, hemat energi, dan lihat kondisi, harapan baik jangan  malah terbuang percuma, hanya karena arif dan bijaksana itu terlena. Mengalah untuk menang itu tidak mudah, namun mengalahkan dengan sebaik apapun yang terkalahkan bisa dendam.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun