Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

"Waskita" Jokowi untuk Cangkul dan Desa Siluman, Anies Waspada

8 November 2019   10:29 Diperbarui: 8 November 2019   10:37 2157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Waskita" Jokowi untuk Cangkul Impor dan Desa Siluman

Cukup menarik dan sangat berbeda tampilan Jokowi secara politis kali ini. Langsung menyatakan apa yang memang harus dinyatakan, tidak lagi seperti yang lampau. Memang masih menggunakan sebuah kamuflase, karena toh rival politik itu bisa siapa saja dan kapan saja. Ini tetap diperhitungkan.

Dalam beberapa waktu, banyak grup pembicaraan membagikan postingan mengenai pembicaraan dalam Kongres Kebudayaan tahun 1918, di mana orang Jawa dikatakan banyak dan suka kebohongan. Oleh Van Lith, pastor misionaris Jesuit diluruskan. Orang Jawa bukannya suka berbohong, namun diajarkan jangan menyakiti orang.

Berbeda dengan didikan Barat yang  menekankan kejujuran dan mengatakan apa adanya. Mengatakan apa yang terjadi dengan lugas memang sudah ditekankan sebagai pendidikan sejak dini bagi masyarakat Barat.

Nah konteks itu yang dipakai sebagai penilaian atas budaya Jawa. Rama Van Lith melihat itu tidak demikian. Padahal  kadang orang Jawa sendiri, atau kepentingan Belanda untuk mengadu domba dan bersikap saling curiga juga berperan dalam konteks ini.

Jokowi sebagai orang Jawa ternyata masih juga memegang hal tersebut. Jangan menyakiti orang, Van Lith mengambil contoh bau keringat. Orang Barat akan mengatakan kamu jangan dekat-dekat saya, bau badanmu. Orang Jawa akan mengatakan, coba minum ramuan kencur biar badanmu segar.

Faktanya sama soal bau badan, cara penyampaiannya bertolak belakang. Namun Van Lith juga mengatakan, dengan bahasa yang halus, dan tidak vulgar orang sangat mungkin menerima masukan dan berubah. Lihat orang Barat yang banyak belajar mendalam soal Jawa melihat dengan kerangka pikir yang lebih luas.

Mengapa Desa Siluman, Bukan Anggaran Jakarta?

Kebanyakan orang akan menantikan bagaimana Jokowi berkomentar soal ugal-ugalan anggaran Jakarta. Dan Jokowi tidak mengatakan itu, namun mengambil desa siluman. Apakah presiden tidak tahu ada anggaran demikian ngaco dan tahu desa fiktif baru saja? Tentu tidak. Dan dengan mengambil momen yang tepat sangat mungkin sekali tepuk dua lalat mencelat.

Lihat saja resistensi Anies dan pendukungnya, jika Jokowi menohok Jakarta,  kondisi politik yang sedang dibangun untuk adem bisa bergolak lagi. Penolakan dan pembelaan diri berlebihan saja sudah memperlihatkan ada apa-apa. Mosok presiden yang dari Solo juga mau ikut ngantemi, jelas tidak.

Desa siluman dengan anggaran siluman apa bedanya coba? Sama-sama anggaran negara digarong demi kepentingan segelintir orang. Itu sama namun dampak politisnya jauh berbeda. Para pelaku di Jakarta itu elit yang sekian lama biasa menggarong cukup kelaparan kala kemarin ada gaya baru. Nah ketika mendapat asupan lagi dan disikat, kemarahan itu bisa berbahaya. Perlu sikap yang cerdik.

Mengenai desa siluman, jauh lagi, dan itu dengan mudah diusut. Mendagri yang polisi sangat mudah bersinergi dengan polisi untuk terjun langsung. Peringatan, waskita, untuk Jakarta bahwa pemerintah pusat itu tidak hanya diam, namun akan bekerja.

Kalkulasi politik itu penting, tidak asal hantam kromo saja, apakah mau mempertaruhkan kondisi yang sedang mau stabil dengan menggebah masalah yang sangat mungkin diselesaikan dengan jalan lain. Sangat mungkin pemerintah sudah mengusahakan penyelesaian tanpa ribut.

Pacul dan Import

Hal yang sangat sepele bukan, soal pacul. Namun nilai kebangsaan dan kemandirian bangsa menjadi taruhannya. Orang teriak soal Free Port, namun soal pacul saja import. Dan mirisnya adalah tukang atau pande besi di kampung-kampung kukut, karena jauh lebih murah import dari pada pesan ke tukang pembuat itu.

Dulu, dua atau tiga puluh tahun lalu masih cukup banyak pande besi, satu desa bisa ada dua hingga tiga, sekarang satu kecamatan satu saja tidak ada. Padahal sangat mungkin itu adalah limpah di negara asal dan di sini menjadi jualan yang cukup mahal. Seolah negara menjadi tempat pembuangan.

Apa yang bisa dilakukan mengapa membeli dari luar. Dan itu adalah gaya hidup bangsa ini. Lihat saja dikit-dikit wisata luar negeri, berobat luar negeri, dikit-dikit kunjungan kerja ke luar negeri. Ini soal uang yang keluar negeri juga, apalagi nilai impor masih cukup tinggi.

Mengapa tidak bicara minyak? Mafia minyak jauh lebih kuat dari pada mafia cangkul tentunya. Mana ada yang meradang dan melawan kalau cangkul yang dibicarakan. Coba mengatakan mengapa impor minyak masih tinggi di depan umum demikian? Dampaknya bisa luar biasa besar.

Cangkul dan desa itu adalah waskita, sebuah pralambang ada masalah yang lebih besar akan diselesaikan dan harus diselesaikan. Jangan hanya merasa baik-baik saja negara ini dikelola dengan cara-cara mafia. Dan itu semua sudah diketahui dengan baik, pemetaan sudah jelas, hanya memerlukan waktu dan cara sehingga tidak menimbulkan gejolak.

Resistensi dan pembelaan diri kemudian menuding pihak lain jelas oleh polisi dianggap hal yang sangat biasa oleh pelaku yang mau membela diri. Dan semakin membela diri bak babi buta, maka akan makin terperosok lebih dalam. Mau politis, mau apapun sama saja akhirnya.

Sinergitas kementrian dan lembaga-lembaga lain bagus, jadi siap-siap saja membaca dengan jeli apa yang presiden nyatakan dan lakukan. Langkahnya sering tidak terduga, meskipun sebenarnya sudah dilontarkan dengan nada guyon. Guyon maton yang sering disalahtangkapi oleh para pelaku politik yang tidak cermat.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun