Pengumuman dan pelantikan kabinet, Demokrat masih diam, kemungkinan masih berharap pada jabatan wakil menteri. Usai pengumuman wakil-wakil menteri, dan lagi-lagi AHY tidak termasuk, langsung menuding Mega dendam sebagai penyebab.
Lebih memedihkan sepertinya ada nama AHT, Angela Herliani Tanoesoedibjo, lebih yunior, bapaknya juga politikus kemarin sore, bandingkan SBY coba menteri pernah, presiden dua kali, plus jenderal pula. Tanoe tidak sebanding.
Benarkah ini dendam Mega? Bisa iya dan bisa tidak, namun cukup menarik melihat kualifikasi AHY jauh lebih penting. Asumsi yang dangkal jika menuding Mega di balik itu. Ada dua pihak yang bisa memerkarakan Andie Arief, yaitu Megawatie selaku tertuduh yang menghalangi AHY. Kedua jelas kredibilitas Jokowi selaku presiden yang dinilai di bawah kendali Mega dengan dendamnya.
Masihlah normal jika mengatakan Mega dendam pada SBY dan itu fakta. Namun ketika sudah mengaitkan dengan keputusan presiden dengan kabinetnya tentu sangat tidak elok dan pantas. Jauh banget kaitannya. Toh bisa dilihat apa sih kualifikasi AHY, kog sebegitu percaya diri Mega yang mendepak?
Mayor purnawirawan, orang akan bertanya-tanya, ini beneran masih muda? Mengapa sudah purnawirawan, jika tidak melakukan kajian lebih dalam dikira pensiuna  bintara. Padahal sangat muda. Dan sama sekali kualifikasi mayor ini yang selalu terbawa-bawa.
Sangat mungkin pernyataan Prabowo yang mengatakan pola pikir mayor ya kita tahu, sebagai jenderal bagaimana mereka berpikir dan bertindak, konon kata Prabowo kepada Luhut. Hal yang wajar dikemukakan karena memang akan demikian. Pangkat juga menentukan pola pikir, pola tindak, jaringan, dan banyak segi lainnya.
Labeling sebagai mayor sama sekali belum hilang, karena memang masih hanya itu yang bisa dinyatakan. Akan berbeda jika ia sudah menjadi bupati-walikota, atau gubernur dengan gilang gemilang. Mayornya sudah tergantikan oleh oh bupati/walikota atau gubernur yang moncer dan berhasil dengan gebrakan ini dan itu.
Menjadi direktur eksekutif the Yudoyono Institute toh juga "pemberian" karena pembentuknya toh SBY, artinya itu bukan lagi prestasi. Semua juga bisa mendirikan lembaga ini dan itu dan kemudian menjadi pimpinannya, asal ada uang dan jaringan.
Toh lagi-lagi apa kiprah dari institute ini juga belum terdengar kog. Apa coba prestasinya, level daerah saja belum, apalagi regional dan global. Coba mrintis dari lembaga yang ada ini memberikan kontribusi yang berdampak. Â Pilih yang sangat khas, tidak banyak pemain lain menggunakan untuk mem-branding, tentu akan dikenal. Banyak faktor bisa digarap.
Selama ini toh diam-diam bae. Meningkat ke arah publik dengan menjabat komandan Kosgama. Lagi-lagi pemberian si babe. Elit partai sendiri mengatakan itu tidak ada dalam AD ART partai. Ada yang berani menyatakan itu adalah ilegal. Coba, bukan makin mentereng malah mendelep. Hasil terukur pun buruk. Bagaimana Demokrat pontang-panting dalam mencoba bertahan, toh tidak juga memiliki suara yang signifikan.
Usai gagal total dalam membawa narasi pemilu curang, kalah dalam pemilihan slot wapres dan juga ketua tim pemenangan. Mereka bermain dua kaki dengan membebaskan kader mendukung capres manapun. Ini  jelas blunder bukan mengamankan kemungkinan.
Jelas terbaca gamang dan mencari untung, bukan kerja keras dan kerja cerdas. Â Basi apa yang tersaji, ketika banyak pihak berlomba dalam prestasi, Demokrat dan AHY masih memainkan trik lama mereka, main dua kaki, memainkan politik korban, dan semua sudah mulai paham.
Peningkatan karir di partai lagi demikian menyolok. Wakil ketua umum, apa jasanya bagi partai coba? Kecuali memenangkan pemilu, ada reward yang patut. Lha ini tidak ada capaian, tetapi hanya mau membesarkan diri oleh si bapak semata.
Prestasi dan kualifikasi AHY sama sekali belum ada selain mayor sebagai pangkat terakhir. Hal ini tentu membuat bingung yang mau menempatkan posisi di kementrian. Berbeda jika itu orang sipil seperti AHT, yang tidak ada terbaca birokrastis. Apalagi putri pemilik usaha yang demikian besar. Kualifikasi minimal jelas sudah ada.
AHY tidak salah. SBY justru yang tidak pas dan bijak dengan pola pendekatan politiknya. Anak buahnya pun ugal-ugalan memainkan narasi. Jangan malah melemparkan tudingan pada Mega dan Jokowi. Ini serius dan membuat masyarakat makin paham seperti apa kualitas SBY dan AHY.
Belajarlah pada HT mengapa ia bisa "menitipkan" anaknya dalam jajaran elit nasional. Mereka bekerja keras. Berani memilih, meskipun tidak populer dan terkena dampak hujatan pula. Itu konsekuensi. Tidak akan bisa menyenangkan semua pihak, itu yang perlu SBY camkan.
Politik perlu juga dana, janganlah pelit-pelit jugalah. Demokrat mosok sih tidak punya dana untuk itu.  Jangan malah  menuding ke sana ke mari, sedangkan kotoran ayam itu ada di samping hidung sendiri. Belajar becermin, bukan hanya teriak-teriak sendiri.
Pengalaman kegagalan sejak 2017 jangan diulangi lagi, mau dijadikan ketua umum Demokrat sekalipun tidak ada berdampak, jika AHY belum menjadi sesuatu. Miris jika memaksa harus skala nasional atau DKI. Padahal banyak lahan yang bisa dikerjakan untuk memperkenalkan diri. Lihat saja Jokowi dari walikota, gubernur, dan presiden.
Benar bahwa SBY langsung menteri dan presiden, toh bintang tiga dulu, lha ini melati dua. Itu tidak akan mudah dihilangkan atau dilupakan. Kalah pula dengan telak dalam pilkada. Jangan pula nanti menyalahkan pihak lain mengeluarkan dari dinas militer.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H