Prabowo Perlu Jokowi untuk Menjinakkan Fadli Zon, Jokowi Butuh Prabowo untuk Redam Fundamentalis
Ini jelas sinergi, sebentuk simbiosis mutualisme, di mana saling membutuhkan demi bangsa dan negara. Februari tahun lalu, sambil berseloroh Prabowo mengaku kesuitan mengendalikan Fadli Zon yang suka bicara apa saja. Apalagi soal Jokowi dan pemerintah. Nah ternyata Jokowi yang bisa menjinakkan Zon menjadi anak alim yang duduk tenang di bangkunya.
Mana ada sekarang kicauan di media sosialnya, karena bukan pimpinan dewan dan tidak leluasa? Ah tidak juga, ini karena Prabowo sudah ada dalam pemerintahan Jokowi. Diam seribu bahasa padahal banyak pekerjaan rumah yang biasa ia garap dan goreng. Sederhana ternyata, gaduh hampir enam tahun senyap seketika.
Sebaliknya, Jokowi yang "kesulitan" menjinakkan kaum fundamentalis, dibubarkan pun masih bisa merajalela mempengaruhi. Tudingan dan serangan balik yang mengerikan bisa menjadi bumerang yang tak terperi. Â
Narasi antiagama, antiulama, komunis, anak PKI, antek aseng, dijejalkan terus menerus ke ruang publik. Habis presiden dalam konteks ini, apalagi ada tim pemandu sorak dalam diri Zon dan kawan-kawan. Mereka ini saling tunggang sejatinya, hanya kini menjadi saling tunggang langgang.
Sementara orang banyak yang optimis adanya rekonsiliasi mendasar, ada sebagian pihak yang merasa penting menggoda dengan mengatakan Prabowo bisa mengudeta Jokowi dengan jabatan Menteri Pertahanan RI itu.Â
Emang sesederhana itu? Mari lihat dengan santai saja pertama, yang punya dan bisa menggerakan pasukan itu panglima TNI, menhan cenderung administratif anggaran. Jauh dari panggang dengan api. Hanya maksudnya othak-athik ra gathuk.
Kedua, menhan masih memiliki menko, menkopolhukam, dan itu jelas ada sebetuk garis komando meskipun tidak besar-besar amat, toh masih  bisa menjadi kekang, meskipun kecil. Ini jelas penghambat dan tidak semudah apa kata orang.
Ketiga, ada prasyarat lain yaitu bersama Mendagri dan Menlu, jika ada halangan tetap dari kedua petinggi top negeri ini. Dan itu hampir mustahil. Benar masih ada peluang, dengan dua menteri lain itu pun penghalang.
Keempat, panglima tertinggi adalah presiden, dan keberadaan panglima TNI dan kepala-kepala staf juga cenderung mendukung pemerintahan yang sah selama ini. Meskipun dalam  hitung-hitungan pemilu suara dari kalangan militer, tentunya keluarga besar mereka, pemilih presiden Jokowi relatif kecil, belum tentu setuju jika kudeta. Faktor lain berbicara.
Kelima, Prabowo tentu tidak mau mempermalukan diri dengan kudeta. Ingatan 98 tentu masih kuat, dan ia masih belum bisa sepenuhnya membersihkan itu. Ini adalah panggung demi nama baik seutuhnya di masa senjanya.
Jokowi yang kesulitan membersihkan anasir fundamentalis ultrakanan perlu figur yang sangat menarik, setara dengan dirinya, dan bisa mereka terima. Ini soal penerimaan dan kepercayaan bukan masalah iman atau agama.Â
Semua pada paham, siapa yang Islamnya jelas atau keluarganya campuran seperti Prabowo. Toh mereka lebih memilih Prabowo, ini bukan soal agama atau labelnya, soal siapa yang kemungkinan bisa dimanfaatkan. Jokowi sudah membubarkan kog.
Prabowo yang mereka sukai itu sampai perlu legitimasi hingga berjilid-jilid dalam ijtima ulama, artinya bahwa mereka memerlukan keberadaan Prabowo untuk perjuangan mereka.Â
Mereka tahu dengan baik siapa Prabowo, bagaimana beragamanya, latar belakangnya, dan seterusnya. Toh mereka mau dan suka cita, karena tidak ada lagi yang bisa.
Mengapa Prabowo? Tokoh lain jelas tidak mungkin. Level kontestasi nasional hanya Prabowo yang sebanding dengan Jokowi. Â Mereka yang kepepet kebijakan Jokowi dalam hal apapun suka atau tidak, rela atau berat hati tentu akan merapat pada Prabowo. Lihat saja oknum, kelompok, organ, atau narasi mereka selama ini seperti apa?
ASN langsung banyak yang bebersih tampilan media sosial mereka. Dampak dari keberadaan mendagri dan menhan yang sudah mulai bergerak dengan pernyataan menkopolhukam serta menag sekaligus. Ini harapan baik bagi bangsa dan negara ke depan.
Narasi nyinyir juga lebih sunyi jika tidak dikatakan senyap soal fundamentalisme. Lihat saja ketika Menkopolhukam lalu kena tusuk saja masih riuh rendah tudingan dan nyinyiran. Artinya keberadaan Prabowo untuk membersihkan aksi fundamentalis sudah berdampak.
Posisi Jokowi yang diserang sejak awal memang posisi yang serba salah. Keberanian mengambil Prabowo jelas pilihan jitu di dalam mengamankan Pancasila.Â
Coba sekarang kalau dikatakan antiislam, buka saja ijtima, kan mingkem mereka. Kalau dikatakan kriminalisasi ulama, toh siapa yang biasanya bergandengan tangan dengan mereka.
Pilihan yang lugas dan berani meskipun akhirnya membuat banyak orang sakit hati, patah hati bahkan, dan malah menuding melupakan relawan. Ini soal pilihan dan keputusan yang jauh lebih besar, ke depan, dan bukan semata kursi dan saat ini.
Mana ada mengatakan Prabowo komunis, atau Prabowo antiulama, berbeda dengan apa yang dilakukan Jokowi yang selalu salah dan dlabeli dengan agama, komunis, antekasing, dan sejenisnya. Nah sekarang label itu berbalik, ketika orang yang paling dipercaya oleh pelaku itu ada bersama yang biasa dilabeli.
Riuh rendah kontraproduksi yang menghabiskan energi berbangsa. Coba jika seperti ini, bangsa ini sudah jauh lebih maju dan besar. Ini serius, bukan soal jabatan dan kursi semata, mengenai bangsa dna negara.
Memang masih perlu banyak waktu untuk mendapatkan kebenaran dan fakta yang bisa menjadi sejarah. Namun langkah hingga saat ini, belum juga seminggu sudah memberikan dampak yang cukup menggembirakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H