Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

AHY yang Lagi-lagi Kehilangan Peluang, Kabinet Indonesia Maju Pun Lepas

23 Oktober 2019   18:30 Diperbarui: 23 Oktober 2019   18:40 2678
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Selamat Bekerja untuk Kabinet Indonesia Maju. Pemilihan menteri dan pejabat setingkat yang masih meninggalkan kasak-kasuk. Sosok ini mengapa hilang, mengapa harus itu di sana, dan itu akan terus demikian. Pro dan kontra, kecewa dan bahagia, yo wajar tidak bisa menyenangkan semua orang.

Pilihan presiden tentu berdasar atas banyak faktor dan pertimbangan, bayangkan dengan yang kecewa atau bahagia itu cenderung hanya menjadi beberapa segi. Kurang menyeluruh itu tidak salah, namun tidak cukup luas sebagai pertimbangan dan perhitungan bernegara.

Beberapa kelompok yang kecewa dalam pemilihan menteri ini adalah;

Pendukung Fanatis Jokowi

Mereka berargumen kalau pendukung akar rumput itu sudah berkeringat, dimaki-maki, baik melalui media sosial ataupun langsung. Tidak jarang dicap PKI dan pendukung pembohong. Dan wajar ketika mereka ngambeg dan jengkel dengan keputusan masuknya Prabowo dalam pemerintahan. Sah dan wajar.

Ada yang merasa berjerih payah, eh malah kursinya diberikan kepada kubu lawan. Unsur kecewa karena ngarep ada dan sangat mungkin. Ini juga wajar dan bisa juga jadi pembenci.  Beberapa sudah bisa dilihat dari periode kemarin.

Pendukung Prabowo Garis Keras.

Kelompok yang masih belum bisa menerima kekalahan Prabowo, eh malah bergabung dalam kubu Jokowi, menjadi pembantu lagi. Miris karena ini juga ulah elit-elit koalisi mereka sejatinya. Dan mereka lupa meluruskan barang bengkok itu sangat susah. Wajar mereka marah dan memusuhi Prabowo.

Seolah mereka ditinggalkan oleh orang yang dibela mati-matian. Lihat saja yang ada di penjara karena  membuat narasi buruk saat kampanye lalu. Bayangkan betapa kecewa dan sakit hatinya mereka.

Ada pihak lain yang jauh lebih pedih, SBY dan AHY. Dengan segala hormat dan mohon maaf. Bukan hendak menambah luka itu, namun bahwa kondisi ini memang harus dihadapi dan dijalani sebagai sebuah usaha dan upaya seorang politikus kelas atas. Toh SBY juga dulu usai tentara hingga jenderal baru molitik. Ada proses panjang, termasuk jatuh bangun.

AHY masih sangat muda,  belum memiliki rekam jejak dan prestasi  kelas publik yang cukup mencengangkan. Wajar ketika banyak yang tidak percaya bisa banyak berbicara kala pemiliha kepala daerah DKI dua tahun lalu. Dan benar saja melihat debat dan penguasaan materi dengan mentor presiden dua periode, tidak meyakinkan sama sekali.

Pilkada tidak banyak berbicara, langsung tersingkir, padahal sudah memainkan narasi lebaran kuda segala. Dan langsung menyanangkan target pilpres 2019 sebagai sasaran utama. Lagi-lagi abai dengan proses. 

Waktu dua tahun yang ada minim dengan hasil yang gilang gemilang, selain membuka Yudhoyono Institute. Kiprahnya juga tidak terdengar nyaring menyikapi isu dan peristiwa aktual yang ada.

Kedudukan di partai pun karena peran klan atau keluarga. Memimpin Kosgama, dan lagi-lagi malah menjadi sebentuk cibiran termasuk oleh elit Demokrat. Dipandang sebagai sebuah hal yang bukan sah bagian dar Demokrat. Malah membuat makin tersudut bukan moncer.

Perjalanan menjelang pilpres lebih memilukan, ke sana dan sini tanpa kejelasan. Jelas dua kandidat kuat capres ragu melihat rekam jejak dan prestasi pensiunan mayor, di bawah bayang-bayang SBY, dan belum lepas jati diri sebagai insan yang mumpuni dalam bersikap sebagai seorang pemimpin nasional. Jokowi jelas menolak.

Prabowo menjadi alternatif kedua pun senada, menolak dan memilih Sandi yang melahirkan jenderal kardus. Jelas tersisih dari percaturan elit, pun AHY belum juga menampilkan sikap yang jelas untuk ke mana dan mau apa. Lolos juga dari ketua badan pemenangan, posisi strategis yang sangat mungkin memberikan dampak bagi capaian pribadinya.

Nampaknya memainkan politik dua kaki dengan menyatakan kader Demokrat bebas memilih presiden siapapun, dengan asumsi siapapun yang menang dapat ikut dalam satu kursi kementrian. Dan kini, 23 Oktober, Jokowi mengumumkan kabinet, AHY tidak ikut juga.

Jokowi tentu tahu kualifikasi dari pribadi-pribadi terbaik negeri ini. Dan AHY bukannya jelek, namun ada demikian banyak yang lebih baik lagi dan sudah terbukti dalam banyak bidang.

Sudah lewat dalam banyak gelaran, AHY jika memang masih mau molitik perlu tampil sebagai dirinya sendiri, jangan di bawah SBY, apalagi hanya wayang SBY semata. Lebih fatal lagi jika menjadi Ketum Demokrat dan tidak membawa perubahan signifikan. "Kompetitor-kompetitor" di luar sudah demikian banyak, ada Ganjar, Ridwan Kamil, Emil, Risma, atau yang sedang ada di kabinet seperti Tito, Puan, dan banyak lagi. Tunjukkan dengan jalan apa saja.

Pilkada serentak 2020 menjadi salah satu panggung terbesar. Jakarta bisa menjadi sarana paling mudah dan hasil paling besar. Namun apa yang perlu dilakukan harus segera. Ciptakan narasi baru yang bisa menandingi Gubernur Anies, dan itu sejatinya sangat mudah. Banyak segi dan lubang yang bisa dieksplorasi dengan segera.

Lakukan dengan cepat, cerdas, dan berkelas. Jangan kelamaan. Persiapan untuk 2024  harus bergegas, jangan hanya mengandalkan nama besar SBY yang sudah tenggelam karena tergantikan oleh Jokowi yang sangat bertolak belakang gaya kepemimpinannya.

Ikuti pola-pola gubernur dan kepala daerah yang menarik, viral, dan sukses. Mudah dan banyak tipe pemimpin yang menjual saat ini. Buat saja  narasi soal Jakarta sebagai mantan terindah yang mau dibuat seperti apa. Tuh sungai kotor, menjelang musim penghujan mau apa dengan itu semua? Sederhana bukan?

Sayangnya tipe AHY identik dengan SBY dan itu tidak cukup menarik untuk menjadi pemimpin daerah model saat ini. Diam di belakang meja wis ra usum.

Media sosial yang bisa menjadi sarana menjajakan diri pun AHY sepi. Bagaimana dikenal dan naik sangat tinggi, ketika diam saja? Tidak ada durian runtuh, wong ditali sejak masih pentil, panggung perlu dikejar. 

Apa nulis di K mumpun ultah, bisa dicoba itu. selamat ultah Kompasiana, coba ajak ABY bergabung, siapa tahu mengantar menjadi RI-1 atau RI-2.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun