Beberapa saat ini kembali mencuat soal isu buku merah yang pernah jadi heboh di KPK. Media sosial dan media percakapan banyak yang membicarakannya.
Awalnya tidak tertarik, meskipun ada beberapa yang janggal. Pagi tadi rekan Kner menanyakan, apakah hal ini tidak janggal, ketika pengusaha alias pedagang daging menyuap Titi sebagai Kepala BNPT.
Hal yang sangat mungkin terjadi, apalagi ini Indonesia, toh apapun bisa terjadi. Bakpao jadi tenar karena kecelakaan ketua DPR. Presiden menang dalam pemilu diminta legawa, mengalah, dan mundur dengan dalih seperti Bung Karno.
Atau ketangkap polisi di jalan menghubungi kerabatnya yang tentara lolos jaya. Mungkin dan bisa saja, karena masih ada di Indonesia. Soal janggal atau tidak, kan sangat biasa.
Tuh lihat saja kementrian agama yang mengurusi agama saja masuk bui. Atau petugas BNN menjual narkotika. Lapas menjadi lahan jual beli kamar mewah, masih logis sih, soal benar dan salah biar pengadilan yang menyatakan dan memutuskan.
Beberapa hal yang lucu dan aneh, justru ditampilkan NB.
Pertama, dalam rekomendasi TPF kalau tidak salah, ada beberapa alasan kemungkinan menjadi motivasi pelemparan air keras. Kisah masa lalu yang menjadi alasan yang dikemukakan oleh TPF. Tidak disebut buku merah. Sekian lama diam, dan kemudian NB mengatakan mengapa soal buku merah tidak dicantumkan.
Kedua, mengapa justru NB yang seolah ngotot memaksa buku merah sebagai penyebabnya. Jika memang itu, sejak awal bisa dikatakan. TPF bukan satu orang, jika melindungi kepentingan buku merah, minimal ada yang berbeda sikap, toh tidak ada yang menyatakan dukungan kepada NB soal buku merah.
Ketiga, ada pernyataan jika NB mengunjungi Tito Karnavian selaku kapolri usai kasus itu heboh. Atas seizin komisioner, jadi legal. Namun ada beberapa hal yang tidak pas dan pantas.
Jika memang itu fakta, mengapa NB harus menghadap Kapolri dan menjelaskan bukan mau membidik polisi dan jajaran sebagai sebuah upaya sengaja. Aneh dan lucu jika memang indikasi fakta, mengapa harus takut, ingat KPK peran dan tugasnya.
Dua, jika memang itu barang bukti pelanggaran hukum, mengapa bukan komisioner atau jajaran yang setingkat dengan kapasitas kapolri. Jenjang kapolri dengan penyidik kog nampaknya tidak setara dan sepadan untuk berbicara hal yang belum terbukti kebenarannya itu.