Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Buku Merah dan Tito Karnavian, Ada Apa Novel Baswedan?

19 Oktober 2019   10:35 Diperbarui: 19 Oktober 2019   10:40 3884
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa saat ini kembali mencuat soal isu buku merah yang pernah jadi heboh di KPK. Media sosial dan media percakapan banyak yang membicarakannya.

Awalnya tidak tertarik, meskipun ada beberapa yang janggal. Pagi tadi rekan Kner menanyakan, apakah hal ini tidak janggal, ketika pengusaha alias pedagang daging menyuap Titi sebagai Kepala BNPT.

Hal yang sangat mungkin terjadi, apalagi ini Indonesia, toh apapun bisa terjadi. Bakpao jadi tenar karena kecelakaan ketua DPR. Presiden menang dalam pemilu diminta legawa, mengalah, dan mundur dengan dalih seperti Bung Karno.

Atau ketangkap polisi di jalan menghubungi kerabatnya yang tentara lolos jaya. Mungkin dan bisa saja, karena masih ada di Indonesia. Soal janggal atau tidak, kan sangat biasa.

Tuh lihat saja kementrian agama yang mengurusi agama saja masuk bui. Atau petugas BNN menjual narkotika. Lapas menjadi lahan jual beli kamar mewah, masih logis sih, soal benar dan salah biar pengadilan yang menyatakan dan memutuskan.

Beberapa hal yang lucu dan aneh, justru ditampilkan NB.

Pertama, dalam rekomendasi TPF kalau tidak salah, ada beberapa alasan kemungkinan menjadi motivasi pelemparan air keras. Kisah masa lalu yang menjadi alasan yang dikemukakan oleh TPF. Tidak disebut buku merah. Sekian lama diam, dan kemudian NB mengatakan mengapa soal buku merah tidak dicantumkan.

Kedua, mengapa justru NB yang seolah ngotot memaksa buku merah sebagai penyebabnya. Jika memang itu, sejak awal bisa dikatakan. TPF bukan satu orang, jika melindungi kepentingan buku merah, minimal ada yang berbeda sikap, toh tidak ada yang menyatakan dukungan kepada NB soal buku merah.

Ketiga, ada pernyataan jika NB mengunjungi Tito Karnavian selaku kapolri usai kasus itu heboh. Atas seizin komisioner, jadi legal. Namun ada beberapa hal yang tidak pas dan pantas.

Jika memang itu fakta, mengapa NB harus menghadap Kapolri dan menjelaskan bukan mau membidik polisi dan jajaran sebagai sebuah upaya sengaja. Aneh dan lucu jika memang indikasi fakta, mengapa harus takut, ingat KPK peran dan tugasnya.

Dua, jika memang itu barang bukti pelanggaran hukum, mengapa bukan komisioner atau jajaran yang setingkat dengan kapasitas kapolri. Jenjang kapolri dengan penyidik kog nampaknya tidak setara dan sepadan untuk berbicara hal yang belum terbukti kebenarannya itu.

Tiga, nampaknya NB bukan polisi atau mantan polisi paling tinggi di KPK. Birokrasi khas militer dan polisi berpangkat itu tidak mudah ada empat level bisa berkomunikasi langsung. Biasanya akan ada yang lebih dekat.

Empat, malah menjadi potensi pelanggaran hukum, ketika pernah ada potensi barang bukti malah tidak dibuktikan. Malah sowan untuk klarifikasi. Kan aneh, ada dua potensi aneh dalam hal ini. mengapa ada penyebutan orang, kemudian klarifikasi personal pada orang itu. mengapa tidak ke pengadilan sekalian?

Ini KPK, beda jika polisi atau kejaksaan, jika ada ewuh pekewuh, sungkan karena atasan paling atas yang tersebut di sana. Lah jika KPK demikian, mana dong keberanian sebagaimana dinyatakan Jokowi saja mau ditangkap dan dijadikan tersangka? Lha nyatanya Kapolri saja takut. Ingat ini berdasar buku merah, bukan karena menuduh kapolri lho.

Persoalan KPK juga ada lagi ketika penyidik senior mengeluarkan pendapat di muka media, tatanan dan birokrasi KPK sudah dirusak oleh orang dalam KPK yang bersikukuh dengan klaim bahwa mereka benar dan bagus itu. kan ada jubir, ada juga komisioner, bagaimana orang paling dalam di sebuah lembaga berbicara kepada media, berkaitan dengan kasus pribadinya masih lah bisa diterima, ketika sudah berpolitik dan menilai politis kebijakan pemerintah, sudah abai akan ranah etik.

Masalah KPK sebenarnya bukan semata UU baru atau lama, pengawas atau bukan, masalah kinerja pegawai dan komisioner yang memiliki integritas, setia pada komitmen berbangsa atau tidak. Jika itu ada, tidak perlu adanya UU lagi, tidak ada pengawas karena pengawasnya adalah nuraninya yang berlandaskan Pancasila dan UUD 45.

Negara semakin maju, akan jauh lebih banyak aturan tidak tertulis yang membuat kesadaran orang bersikap penghormatan pada kemanusiaan. Ketika orang masih takut pada hukum, penjara, apalagi hanya takut pada polisi atau nama baik, belum sepenuhnya maju dan merdeka.

Kesadaran itu bukan takut karena hukuman, namun karena merugikan pihak lain, kepentingan umum, dan malu jika berbuat kesalahan. Malu merugikan pihak lain. Lah lihat saja di sini melanggar hukum saja masih merekayasa fakta dan UU atau pasal demi masih bisa selamat. Ini soal malu dan ternyata sudah tidak ada.

Tugas KPK itu jelas bukan hanya soal korupsi, namun juga mengubah mental dari mental budak dan suka maling menjadi mental bangsa merdeka, malu maling dan mengambil yang bukan haknya.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun