JK, Terima Kasih Bhakti, Prestasi, dan Kontribusinya bagi Negeri, Amien Rais Belajarlah
Jusuf Kalla, seorang politikus ulet, tulen, dan cerdik. Dua pemerintahan ia menangi sebagai wakil, prestasi yang hanya JK seorang.  Di  balik kontroversinya, toh ia mampu menjadi pendamping yang keren bagi dua presiden, SBY dan Jokowi. Bersama kedua RI-1 dengan gaya yang jauh berbeda. Ini pengalaman yang mengajarkan.
Dua hal kontroversial yang perlu diingat, bukan untuk diingat-ingat dan yang utama, Â hanya sebuah kewajaran sebagai manusia. Pertama, jauh sebelum gelaran pilpres 2014, ia sempat mengatakan jika negeri ini dipimpin Jokowi, negara bisa hancur. Kepentingan juga demi ia bisa ikut kontestasi sangat mungkin. Lebih jauh nanti dalam pembahasan ini juga masuk.
Kedua, ketika ia menjadi ketua Dewan Masjid, namun diam saja masjid menjadi tempat untuk politik praktis di pilkada DKI Â di mana ia menjadi pendukung salah satu paslon. Dan keberadaan pilkada DKI menjadi pemilihan paling buruk dan tragedi demokrasi. Dampaknya yang ada karena pembiaran.
Prestasi Jusuf Kalla sebagai Politikus.
Dua presiden ia dampingi, dengan dua gaya yang bertolak belakang. Satunya seolah mau menyalib dan tidak sabar melihat SBY yang penuh pertimbangan. Boleh disebut juga lamban. Sering ia terlihat gregetan untuk cepat mengambil alih. Maka ketika ia menjadi rival untuk SBY dalam pilpres ia memilih jargon, Lebih Cepat Lebih Baik. Sangat pantas, sebagai seorang politikus lama, bandingkan SBY, plus pengusaha ia ingin serba cepat.
Nah berhadapan dengan Jokowi yang juga memiliki keyakinan kecepatan itu baik, JK tidak banyak ribet dengan itu. masih ingat lima tahun dalam dalam sebuah acara Najwa, Jokowi menyatakan ia lebih cepat dari Pak JK. Dan betul, jarang sekali terlihat JK overlap dengan Jokowi, beda dengan waktu bersama SBY. Usia juga menentukan, selisih lima tahun tentu  sangat berpengaruh.
Politik itu soal waktu yang tepat. JK seolah hilang ketika kalah berkontestasi dengan SBY. Tiba-tiba lima tahun berselang ia bisa bergandengan tangan dengan PDI-P dan Jokowi untuk menjadi penantang pilpres dan menang lagi. Tidak banyak orang bisa berlaku sabar di belakang dan bisa maju lagi dan menang.
Pemenang itu tidak banyak, lebih banyak korban kekalahan. JK bisa melihat itu, ketika ia kalah dalam pilpres sebagai capres, ia tidak enggan untuk menurunkan kelasnya menjadi wakil presiden. Dua kali menjadi calon wakil dan menang. Lihat bagaimana banyak pelaku politik yang kekeh dengan menjadi capres, contoh Amien Rais dan Prabowo. Kalah lagi dan lagi. Padahal sangat mungkin terbuka kemenangan jika menjadi wakil.
Diam dan tidak banyak ulah, ketika ada di belakang. Ketika SBY-Boediana menjadi presiden dan wakil presiden,  JK tidak banyak ulah, apalagi membuat kisruh berbangsa dan bernegara dengan narasi, komentar, dan  tindakan lain.Llagi-lagi bandingkan dengan Amien Rais dan Prabowo. Diam itu emas sangat terbukti.
Ia dilihat dan dipandang cukup bisa menjadi rekan yang baik, oleh PDI-P dan juga Jokowi ketika maju. Ingat Golkar d mana ia pernah menjadi ketua umum tidak mengusung dan mendukungnya. Toh gerbong yang ia miliki dan latar belakang tanah tumpah sangat membantunya bersama Jokowi memenangkan pilpres 2014.
Memiliki kualifikasi khas. Â Peran JK di dalam mendamaikan konflik sangat baik. Jarang politikus bangsa ini juga memiliki kemampuan diplomasi yang baik dan mumpuni. Banyak data bisa dilihat, tidak perlu mengulangi untuk mengulasnya. Ini kekuatan yang patut dilihat dan dijadikan teladan bagi banyak politikus muda.
Nah kemampuan ini juga yang bisa menerobos benteng Banteng sehingga yakin membawanya dalam gerbong menantang Prabowo-Hatta yang memiliki jumlah suara parpol lebih kuat. Dan benar ternyata, banyak parpol ternyata hanya menang dalam suara, dalam kenyataannya tidak demikian yang terjadi.
Lobi-lobi, diplomasi, dan kemampuan untuk mendapatkan apa yang diinginkan itu penting, dan sering orang salah melangkah. Hanya mendapatkan receh saja senang, padahal bisa memperoleh yang jauh lebih besar. JK salah satu sosok yang sukses dalam hal-hal besar. Kadang ia melepaskan apa yang tidak penting, demi mendapatkan yang sangat penting.
Berbicara pada kondisi yang tepat, begitu banyak politikus itu gede omong, namun malah sering gagal total di dalam peperangan mereka. Mengapa? Dengan banyak omong, orang tahu kualitas sesungguhnya, apalagi jika tidak konsisten. Habis sudah. Politik juga berbicara soal kualifikasi dan konsistensi.
Diam, sebagai seorang politikus juga buruk, ketenaran tidak akan diperoleh, apalagi tanpa prestasi. Nah JK ini memilih berbicara pas pada kepentingan yang ia maui. Dengan demikian tetap ia masuk dalam pembicaraan, tapi tidak juga terkena imbas pengenalan sebagai politikus yang tidak konsisten, karena tidak banyak omong.
Di balik banyak kekurangan, toh JK masuk dalam sejarah bangsa sebagai seorang Ketua Umum Golkar dan pernah menjadi wakil presiden dua periode dengan presiden berbeda. Bangsa ini tetap akan ingat apa yang sudah ia berikan bagi bangsa dan negara.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H