Penanganan Tujuh Prajurit dan 7 Kepala Sekolah, Dampak Pembiaran dan Kerinduan Pemimpin Berani
Cukup menarik, ada dua peristiwa besar yang berdekatan terjadi. Mulai  othak-athik gathuk politik, di mana Ganjar dan Andika sebagai pasangan capres dan cawapres. Masih terlalu dini, apalagi baru satu kondisi yang memang terjadi hampir bersamaan. Jalan masih panjang bagi keduanya.
Tujuh kepala sekolah mendapatkan tindakan tegas dari Gubernur Ganjar, meskipun banyak yang mengatakan ini kurang, apalagi melihat fenomena yang ada. Sangat mungkin itu hanya sebuah tampilan gunung es di lautan fundamentalisme. Paling tidak, cukup memberikan harapan bahwa masih ada pemimpin berani dan mulai adanya gerakan aktif untuk membersihkan anasir-anasir yang tidak setia pada komitmen dan azas berbangsa.
Pelaku fundamentalis sejatinya bukan sebuah aksi, keyakinan, dan produk SKS, proses panjang dan lama. Sering menjadi pembicaraan bahwa untuk menjadi sosok demikian hanya perlu dua jam, benar itu membuat orang yakin, namun menjadi sebuah aksi nyata, kepala sekolah, tentu tidak setahun dua tahun, bertahun-tahun. Salah satu sebabnya adalah pembiaran.Â
Pembiaran, atas nama demokrasi, takut dicap antiagama, dan kadang juga pimpinannya ikut di dalamnya. Miris sebenarnya,, tahu bahwa di dalam tubuh birokrasi, tubuh organisasi ada "penyakit" namun bersikap diam saja demi tetap bisa mendapatkan kursi kekuasaan.
Pemanfaatan. Sering terjadi, demi popularitas, mendapat simpati, akhirnya "membiarkan" paham apapun hidup dan berkembang. Pemimpin model begini sejatinya mengerikan, hanya demi mendapatkan kekuasaan, membiarkan virus yang memiliki daya rusak luar biasa. Kesetiaan pada negara dan sendi-sendi bernegarapun lemah.
Lebih parah, jika tidak tahu apalagi jika memiliki paham yang sama. Sangat muskil jika tidak tahu. Kalau tidak mau tahu sangat mungkin demi mendapatkan suara. Jauh  lebih menakutkan jika mereka justru memang memiliki afiliasi yang sama. Lha untuk apa sumpah ketika menjadi pejabat? Munafik bukan, menghianati yang dicuapkan dengan sumpah Kitab Suci dan atas nama Tuhan padahal.
Tujuh prajurit TNI AD diberi hukuman oleh  atasan mereka karena enam istri dari para prajurit itu berkomentar tidak patut pada peristiwa Wiranto, dan satu prajurit melakukan sendiri. KSAD mengatakan ini soal ketidakpatutan bermedia sosial, bukan karena fundamentalisme atau radikalis. Klarifikasi yang baik dan tepat, karena apa?
Memang yang menjadi pokok persoalan adalah cara mereka, para pelaku menyikapi kejadian kemanusiaan. Ingat Wiranto adalah purnawirawan jenderal bintang empat, menkopolhukam yang sedang menjabat, langsung atau tidak, ada atasan dari para suami dan prajurit itu. Jika tidak suka, toh itu atasan, paling tidak, diam dan tidak banyak komentar. Kemanusiaan, bukan soal afiliasi politik, apalagi jika paham idielogis. Kan ngeri.
Lagi-lagi adalah pembiaran. Â Selama ini orang, termasuk prajurit dan keluarganya, seolah hidup bebasm merdeka, atas nama demokrasi dan kebebasan berpendapat. Benar, bebas, namun tentu bukan bebas ngawur, dan seenaknya sendiri. Ada aturan, ada ranah etika, ada bagian yang namanya kepantasan dan kepatutan di dalam hidup berbangsa.
Sejatinya sederhana kog, bagaimana jika itu menyasar kita. Contoh, para istri prajurit itu, apa reaksinya jika suaminya atau anaknya  yang menderita atau menjadi korban dan kemudian ada yang berkomentar, ah itu sih lebay, ngedrama, nyesek gak, ngamuk gak? Sesederhana itu.
Ini soal empati dan simpati, tidak perlu jauh-jauh berbicara soal afiliasi politik, benar tindakan KSAD, meskipun susah dilepaskan dari pengaruh dan dampak afiliasi aktifitas ideologis. Mengapa? Beberapa narasi yang berkembang, cenderung dibesar-besarkan oleh kelompok yang biasa bermain melalui media sosial itu-itu saja. Para pemain dan pendukung kelompok fundamentalis.
Ada yang mengatakan KSAD mempermalukan anak buah, tindakan berlebihan karena bukan menyasar Wiranto, dan sejenisnya. Toh tindakan disiplin militer telah dijatuhkan. Mau membela diri seperti apa toh sudah terjadi, dan cap itu akan merontokan karir baik tamtama, bintara, apalagi perwira menengah.
Tanggapan normatif mengenai penyalahgunaan media sosial, karena jika mengenai fundamentalis, jelas perlu kajian, analisis, dan aksi nyata terlebih dahulu. Namun jika memang kemudian terjadi adanya fakta aksi fundamentalis senyampang dalam penanganan pelanggaran disiplin ringan ini, itu berkat terselubung berarti.
Kedua aksi tersebut membuat banyak tanggapan dan respons positif. Mengapa demikian?
Bangsa ini haus pemimpin berani. Sekecil apapun kalu berani bersikap, tanggapan publik akan sangat tinggi. Ingat, banyak pemimpin yang hanya berorientasi pada amannya kekausaan, pokoknya bertahan dan tidak jatuh di tengah jalan, populis menjadi pilihan, meskipun membiarkan banyak kengawuran di dalam tubuh yang seharusnya bisa mereka atasi
Jika jernih berpikir, aksi kedua pemimpin itupun tidak sesuai proporsinya. Masih banyak anak buah atau bawahan yang seharusnya bertindak dengan lebih cepat. Karena birokrasinya mampet karena kepentingan dan afiliasi ini dan itu, sikap kedua pemimpin itu justru mendapatkan apresiasi baik.
Apapun yang dilakukan, asal tidak melanggar hukum, dengan motivasi memperbaiki kualitas hidup berbangsa, soal prosedur bisa dinafikan. Ini kondisi darurat, siapa cepat dan lugas, silakan saja.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H