Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

PKS dan Matinya Oposisi Negeri Ini

14 Oktober 2019   11:04 Diperbarui: 14 Oktober 2019   11:34 803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PKS dan Matinya Oposisi Negeri Ini

Menarik apa yang terjadi dan menjadi bahan politik bangsa ini. Usai pemilu ternyata masih begitu banyak trik dan intrik yang berjalan. Pertemuan demi pertemuan untuk mengokohkan keadaan sangat masif.  Pertemuan Prabowo dan Jokowi, dilanjutkan Paloh dan Prabowo, ataupun tokoh lainnya.

Aksi mahasiswa dan unsur lainnya pun tidak lepas dari kepentingan politik praktis yang ada.  Sangat mungkin ada penunggang dan kepentingan yang lepas dari amatan dan kulikan media, ataupun penyuka dunia politik. Itu sangat mungkin.

Tata negara kita memang masih belum sahih betul, demokrasi yang ada belum sepenuhnya teratur. Kepentingan dan tabiat masa lalu demikian kuat. Ya memang demikian adanya dan masih perlu waktu. 

Salah satunya adalah ketika sistem pemerintahan presidential, namun parlemen juga sering kadang overlap, bahkan menyandera, ya memang masih perlu disadari dan diterima.

Oposisi sejatinya tidak ada dalam sistem bernegara kita. Parlemen sebagai pengawas secara utuh, bukan dikotomi pengusung pemerintah atau bukan. Toh dalam pelaksanaan kadang partai pemerintah pun lebih galak dari "oposan". 

Oposisi tidak jarang malah lebih getol memihak pada keputusan dan pilihan pemerintah. Ya sudah memang masih taraf belajar berdemokrasi dan bertata negara menjadi lebih baik dan tepat lagi.

Gegap gempita dan riuh rendahnya diplomasi dan lobi-lobi politik tidak membawa dan terdengar yang namanya elit PKS diajak atau mengikuti arah angin itu. Memang paling  realistis, logis, dan pas ya ketika mereka ada di luar pemerintahan. Toh kalah dalam pemilihan umum pun pemilihan presiden.

Sangat mungkin malah adanya pergerakan yang dulunya kawan menjadi lawan dan sebaliknya, karena melihat peluang 2024 ada slot ringan dan sama-sama berangkat dari titik nol untuk pilpres. Kondisi hari ini juga berkaitan dengan lima tahun mendatang.

Secara lugas dan terus terang, saya tidak respek dengan PKS berkaitan dengan ideologi dan perilaku beberapa elitnya yang cenderung memberi dan membawa angin ideologi berbeda. Toh sepanjang belum terbukti melanggar hukum, mau apa lagi.

Keberadaan PKs saja dalam sisi "oposan" paling banter bersama PAN, yang sama-sama tidak signifikan itu membuat ketimpangan. Sangat kuat pada sisi pemerintah, meskipun toh tidak bisa juga akan serta merta baik-baik saja, ingat era SBY, di mana PKS dan Golkar lebih oposan dari pada PDI-P dan Gerindra.

Pembeda era itu adalah PDI-P dan Gerindra cukup kuat bahkan papan atas semua di dalam perolehan suara dan kursi. Lha kini? Misal pun Demokrat yang cukup gede, kurang lihai dan cukup signifikan, pun Nasdem misalnya.

Akan berbeda, jika dari salah satu ketiga besar yang berada pada posisi oposan, misalnya Gerindra tetap pada posisi berhadap-hadapan dengan PDI-P-Golkar, apalagi jika Golkar dan Gerindra yang pada posisi oposan akan lebih menjanjikan pergerakan politiknya.

Bukan jaminan memang banyak dna kuat akan mulus, toh bahwa itu adalah psikologis politis semata. Merasa nyaman temannya gede dan banyak. Faktualnya belum tentu. Akan mengarah pada kecepatan untuk voting dan ambil suara, praktis, pragmatis, dan berbahaya.

Mengapa PAN cenderung diam dan tidak banyak reaksi dan aksi? PAN dengan dua matahari susah bersikap diam menunggu jauh lebih enak, toh akan dapat "jatah" juga. Sulit masuk kabinet, pengalaman musim lalu, plus jauh lebih aktif dan aman bersama Demokrat juga menjadi penghalang.

PKS memiliki nilai strategis, asal bisa melakukan peran dengan cerdik, sangat mungkin memiliki suara yang cukup signifikan. Pengaruh anasir masa lalu sudah jauh mereda dan terlupakan. Point pada kisah kasus korupsi yang demikian masif.

Keberadaan Fahri yang membawa petaka dan komentar yang tidak membantu partai juga sudah tidak ada. DPP memiliki keleluasaan mengarahkan fraksi di dewan  sehingga bisa memainkan isu-isu politik secara bulat. Kampaye lima tahun tanpa batas.

Catatan. Asal lebih konsern pada kebutuhan negara, bangsa, dan rakyat, kurangi kebanyakan omong yang justru memperlemah partai terutama soal ideologi. Jika memang bukan ideolgi Pancasila, mengapa tidak keluar dari bangsa ini?

Partai ini sejatinya memiliki loyalitas tinggi, kaderisasi relatif paling baik dan mumpuni, hanya soal dasar ideologi yang tidak jelas ini saja menjadi hambatan untuk menjadi partai yang besar. 

Tetap susah untuk menjadi lebih meyakinkan ke depan, meskipun berposisi sebagai oposan, toh nyaris tidak akan terdengar, dan juga orang akan gamang melihat reputasi ideologisnya mendua begitu.

Paling tidak, keberaniannya memilih tetap bertahan di luar pemerintahan layak mendapat apresiasi untuk menyelamatkan tata negara masih berjalan normal. Aneh juga sejatinya, jika pernah berlawanan tiba-tiba menjadi pendukung dalam pemerintahan, apalgi hanya demi kursi.

Masih perlu waktu memang untuk berdemokrasi lebih baik lagi. Penyederhanaan parpol akan menjadi sebuah cara untuk memperbaiki kondisi berbangsa lebih baik. Sandera menyandera bisa diminimalisir. Pelaku korupsi dan pelanggar hukum tidak lagi melompat-lompat partai.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun