Cukup menarik apa yang terjadi pada dua anggota Persit (Persatuan Istri Tentara), ketika KSAD melakukan evaluasi dalam waktu yang sangat singkat.
Ada postingan media sosial dari kedua ibu-ibu dan dalam semalam sudah ada keputusan. Copot jabatan bagi anggota TNI-AD dan pelaku yang sekaligus istrinya dijerat UU ITE peradilan umum.
Gerak cepat dan tangkas memang perlu dan penting. Bagaimana tidak, selama ini, orang bisa melakukan seenaknya saja dan kemudian mengaku khilaf, tidak sengaja, minta maaf, dan terulang lagi, dan lagi.
Pelajaran penting dan berharga, agar jangan hanya mengedepankan emosi namun juga nalar, kepantasan, dan kepatutan. Bagaimana bisa seorang istri perwira, ada juga bintara, berkomentar terhadap peristiwa yang menimpa Menko Polhukam. Secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan institusi para suami mereka.
Wajar meluapkan emosi, namun jangan sampai malah merugikan diri sendiri, keluarga, karier pasangan, dan terutama masa depan anak-anak. Apakah berpikir demikian sebelum memutuskan publikasi tulisan? Coba apa sih untungnya, urgensinya sebagai istri prajurit berbuat seperti itu?
Tidak ada nilai tambah untuk seorang pejabat daerah militer dengan berbuat begitu. Malah akhirnya masa depan keluarga dipertaruhkan. Susah melihat karier si suami bisa berlanjut dengan baik karena ini akan berkaitan dengan kelompok fundamentalis. Apalagi jika sampai pemecatan terjadi.
Apreasiasi tinggi bagi KSAD yang langsung melakukan tindakan tegas. Hal yang selama ini seolah biasa saja, merasa aman-aman saja, dan kena batunya. Penting agar menjadi peringatan bagi semua pihak. Pelajaran bukan hanya untuk istri prajurit namun juga semua saja sebagai warga negara yang baik.
Jauh lebih aman, lebih bernilai ketika melakukan diskusi dalam kalangan terbatas, jika pemberitaan media arus utama belum ada. Bisa berbahaya apalagi hanya berdasarkan asumsi. Lagi-lagi ini hal penting agar menjadi pengalaman, terutama untuk orang yang sangat mudah emosi dalam menyikapi persoalan.
Berpikir masak-masak, apalagi yang biasa brangasan, emosional, dan mudah terpancing. Jangan berpikir demi viral atau demi dapat uang kemudian melakukan hal yang jauh lebih merugikan. Jika istri perwira tentu bukan uang tentunya, hanya emosi dan perasaan empati yang salah tempat dan salah media.
Berbeda itu tidak salah, namun apakah melanggar hukum dan malah menjadi fitnah atau hoaks, itu menjadi penting. Jangan berbicara hak bebas berekspresi dan berpendapat namun dasarnya semata asumsi lemah fakta. Jangan kemudian othak athik gathuk, yang membuat terjerembab sendiri. Â
Media sosial itu tidak mudah melihat mana yang benar dan mana yang salah, jika tidak memiliki pengalaman, pemahaman, dan pemilihan data dengan baik. Nah ketika hanya satu dua data dipakai untuk membuat ulasan ya bisa menjadi bumerang.