Arief Puyuono: Gerindra Meminta Tiga Menteri, Siapa Saja Mereka?
Aneh dan lucu, ketika kalah pemilu namun tetap mau ikut dalam pemerintahan. Masih nutup mata, ketika penggembira seperti Golkar, PAN, P3 periode lalu. Lha ini, pemimpin koalisi, memiliki capres sendiri, dan hampir selalu berseberangan  dalam seluruh upaya pemerintah. Memang sering pula Prabowo sebagai pemimpin menjadi penyokong utama Jokowi.
Keberadaan sistem presidensial yang cenderung mendua, karena toh parlemen juga ikut sok kuasa menjadikan sistem dan tata negara bangsa ini kacau balau. Dewan bisa menjadi seolah-olah bisa menyandera pemerintah. Acap kali terjadi demikian.
Belum lagi, kabinet yang lebih asyik dengan proyek, partainya, dan kampanye untuk diri dan pasrtai politiknya. Memang tidak akan ada yang ideal di dalam bernegara, dan selama berbicara soal dunia, namun jelas bagaimana mendekati yang ideal itu patut dicoba dan dilakukan.Â
Minimal taat konsensus dan yang umum. Ada dua sisi dalam tata negara, pemerintahan dan penyeimbang dalam konteks parlementer bernama oposisi.
Buat apa coba ada pemilihan umum, atau pemilihan presiden jika toh yang kalah nantinya pun ikut memerintah. Bagaimana yang sudah berjerih lelah, beradu dalam kampanye, dan kemudian yang dulunya berseberangan bahkan melemahkan juga ikut di dalamnya.Â
Tidak berbeda dengan perlombaan balita sehat atau model anak-anak. Demi anak dan ibunya tidak ribet dan merepotkan semua diberi hadiah dan sertifikat.
Partai politik yang seharusnya memberikan pendidikan politik malah merusak dengan sistem pokoke dan asal ikut berkuasa, masalah proses dan perjuangan tidak menjadi perhatian. Tentu masih ingat, bagaimana perilaku ugal-ugalan, dan seenaknya membangun narasi dan opini mengenai pemerintah dan rival politik mereka.
Benar bahwa politik itu cair, tidak ada kawan abadi, dan sebagainya, toh masih perlu ranah etik, moral, dan tata krama yang sepatutnya. Infrastruktur yang katanya masyarakat tidak makan semen atau beton. Padahal toh mereka juga menikmati.
Atau mengatakan sebagai jargon hutan dan pemimpin bohong seolah-olah sudah menjadi kebenaran yang hakiki. Pengikut mereka lho masih demikian yakin dengan jargon itu sebagai kebenaran hingga detik ini.
Kondisi demikian, belum lagi reaksi dari koalisi yang sudah berjerih lelah, bahkan ada juga yang berdarah-darah. Â Relawan yang menahan perih-pedihnya makian dan setengah mati membela pemerintah eh tiba-tiba yang kemarin itu memaki kini akan menjadi bagian utuh.
Kata Arief Puyuono, Gerindra meminta dan menyiapkan tiga nama, yaitu Eddy Prabowo, Fadli Zon, dan Sandiaga Uno yang katanya akan segera kembali menjadi kader partai politik Garuda ini. Siapa saja mereka itu, kenalan sedikit dulu.
Fadli Zon jelas paling mudah dikenali dengan banyak twitt-nya yang kata komika hingga dua menit sekali dan kapan kerjanya. Ia baru saja usai menjadi wakil ketua dewan. kinerjanya jauh dari memuaskan jika berkata normal.
Pertikaian dengan alasan dan dalih pengawasan dan sikap kritis, yang sering dimaknai nyinyir oleh kubu pendukung pemerintah. Mulai ribut dengan Menteri KKP, padahal salah satu kekuatan kabinet dan moncernya pemerintahan ada pada sosok berani Susi Pudjiastuti.
Mengenai infrastruktur, soal penampilan dan sikap serta pilihan Jokowi ia buat puisi atau sajak. Jauh lebih banyak mencela dari pada mengritik. Susah melihat mana solusi atau alternatif yang diberikan dalam apa yang ia nyatakan dan lakukan. Jauh dari kualifikasi pimpinan dewan.
Resistensi akan jauh lebih besar dan itu menjadi masalah baru, bukan sebentuk pemerintahan yang seharusnya lebih stabil karena periode kedua. Lebih cenderung merugikan daripada membantu kinerja lebih baik. Energi bangsa habis untuk curiga, melawan narasi dan ide gak mutunya, serta yang sejenis itu. lebih banyak masalah dari pada manfaat.
Sandiaga Uno
Memang dasar dan pengalamannya cukup di bidang ekonomi dan bisnis. Prediksi banyak pihak mengatakan ia bisa menjadi ketua BKPM, dan sangat logis memang. Melihat sepak terjang selama menjadi cawagub, wagub, dan kemudian menjadi cawapres kurang menjanjikan sebuah jaminan kualitas. Bukan berarti tidak ada kualitas, ada jauh lebih banyak sosok yang jauh lebih mumpuni, menjanjikan, dan sudah teruji.
Resistensi memang tidak sekuat Fadli Zon, namun melihat kualitasnya selama ini susah mengikuti ritme kerja dan rancangan yang dikehendaki presiden. Memang cara berpolitiknya yang jauh lebih rasional daripada koalisinya selama ini cukup membedakan dengan kebanyakan kader partai ini.
Dalam kondisi kepepet dan terpaksa saja bisa memasukan nama satu ini. Pilihan mentok politis bukan kapasitas dan nilai plus lainnya secara profesional tentunya.
Eddy Prabowo.
Nama yang tidak cukup familiar. Ketua fraksi MPR kalau tidak salah, usai ngulik dari tante Wikipedia. Ia Akabri tingkat dua yang dikeluarkan dan ikut Prabowo ke mana-mana dan akhinnya ikut menjadi anggota dewan Gerindra.
Cara berpolitik  yang tidak suka riuh rendah memang membuat salah satu kader ini lebih minim resistensinya dari pada kedua nama lain.  Jarang bereaksi negatif berlebihan menjadi kekuatan aman dari sikap penolakan dan perselisihan sengit.
Kualifikasinya belum terdengar dan belum menjadi jaminan mutu. Tetapi bahwa jauh lebih aman dari pada kedua nama di atas.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H