Demontrasi yang berduyun-duyun memang sudah mereda. Pembicaraan mengenai keadaan itu masih tetap terus mengemuka. Salah satu yang cukup menarik adalah narasi, gagasan, dan ide dari pimpinan daerah ataupun lembaga, yang sangat beraroma politis kepentingan.
Tidak heran  lahir meme, lelucon, dan ledekan mengenai ademnya demo mahasiswa Jabar karena RK, tertibnya Jatim karena Risma dan Khofifah, dan cerdasnya Jateng karena Ganjar. Dan rusuh karena pemimpinannya dan itu ada di mana.Â
Khusus mau melihat kedua tokoh, muda, bersama-sama memimpin daerah dan juga menghadapi kejadian yang sama.
Ganjar dan Demo Cerdas ala Jawa Tengah
Ganjar menemui demonstran dan ikut terlibat di dalamnya. Malahan sempat ada kata maaf dari peserta aksi yang sempat merobohkan pagar gedung dewan. Cukup unik dan cerdik di dalam menghadapi aksi.Â
Cara khas Jawa, di mana dipangku mati, pola pendekatan Ganjar sukses. Malah akhirnya bersama-sama membenahi taman yang sempat rusak. Demo juga tidak berkepanjangan.
Sebenarnya banyak hal konsep, pendekatan, dan pilihan Ganjar cukup menjanjikan sebagai seorang pemimpin. Â Pembangunan memang tidak semasif Ahok di DKI dulu, atau sekelas Jokowi dengan capaian di mana-mana, namun banyak hal lebih dari sekadar pemimpin ada pada sosok ini.
Pertama kali cukup menghenyak ketika ia mendapati pungli pada jembatan timbang. Peristiwa awal-awal ia memerintah Jawa Tengah. Tangkap tangan langsung pada sopir dan petugas di sana.Â
Rekaman yang beredar jelas memperlihatkan keadaan sesungguhnya, bukan buatan, dan asli apa adanya. Kru kendaraan yang tidak kenal gubernur, dan bagaimana petugas berdalih. Itu faktual keadaan banyak sektor demikian.
Penanganan guru dan pimpinan sekolah terpapar radikalisme. Ini pilihan sulit dan tidak mudah karena trend yang  sangat tidak mudah. Sangat mungkin menjadi bumerang jika tidak hati-hati dengan sematan antiagama dan komunis bisa melekat.Â
Toh pilihan sulit itu dipilih dan bisa selesai dengan relatif baik. Bukti keberadaan sekolah yang demikian jelas terbaca dengan penangkapan salah satu dosen, dan banyak pihak pembela yang membabi buta membela dan membelokan persepsi publik.
Ganjar dan Pilpres 2024
Cukup layak dengan apa yang ia capai dan putuskan sebagai seorang pemimpin. Ada hal yang cukup berat adalah keberadaannya sebagai kader PDI-P. Ada nama Puan, dan tentu si "pemegang" kendali partai Mega.Â
Sangat tidak mudah menapaki jalan politik dengan model partai demikian. Berbeda juga dengan Jokowi yang sangat luas dikenal dan hasilnya pun menjanjikan.
Salah satu sarana yang sangat mungkin membantu dengan ia menjadi menteri. Terobosan yang ia buat bisa membuat ia makin dikenal dan dukungan sangat mungkin mengalir. Jika hanya tetap di posisi gubernur, masih jauh dari kesempatan level nasional dan pilpres.
Anies dan Demonstran Remaja
Berbagai pihak memprediksikan Anies Baswedan mengumpulkan suara, simpati, dan cukup banyak "dana" untuk maju pada 2024. Suka atau tidak, nama Anies selalu ada, meskipun tidak terdepan dalam gelaran pilpres. 2014 masuk dalam konvensi Demokrat yang hilang sebelum berkembang. 2019 pun masuk dalam banyak radar, meskipun kalah karena isu yang ada lemah dalam modal kapital.
Ia sering juga menarasikan diri sebagai "pesaing" presiden dengan pilihan-pilihannya dalam mengatur Jakarta. Mau ditertawakan atau menjadi olok-olokan  bagi sebagian pihak, toh ia mendapatkan panggung dan dukungan dari para pendukung setianya. Lihat saja narasi gubernur rasa presiden, pemimpin yang gagah, dan seterusnya.
Ketiadaannya dalam aksi-aksi yang berujung ricuh, minimal dua kali, dan malah ada pada pihak pelaku, menjadi titik krusial ia membangun citra layak pemimpin nasional. Ketika ia ke luar negeri saat kisruh Mei, malah pulang memilih memikul keranda. Ingat keranda dan jenazah itu propaganda ala Timur Tengah yang mau menampilkan sisi heroisme politik korban.
Kemarin, lagi-lagi ia absen ketika demo bahkan melibatkan anak-anak remaja. Pernyataannya cukup konyol, ketika malah menyarankan orang tua mendampingi remaja berdemo.Â
Nalar boleh pendapat demikian, ketika itu demo demi kepentingan mereka, misalnya sekolah yang tidak beres. Anak siswa demo dengan orang tuanya sangat logis dan mungkin. Beda ketika demo soal politik, tidak jelas juga arah dan tujuannya lagi.
Memangnya orang tua tidak bekerja, kog mendampingi demo, ini bukan mengambil rapor atau wasana warsa tetapi demonstrasi politik. Cukup jelas perbedaan bahkan juga cukup signifikan sebenarnya.
Melihat kelucuannya, layak berpikir keindahan kata dan narasi tetap ada batasnya. Kelemahannya memimpin Jakarta yang tidak lebih baik, mengelola keuangan dengan amburadul, tim dan anggaran yang ugal-ugalan membuatnya makin susah mendapatkan simpati.
Ke depan peta perpolitikan lebih logis, namun pilihan Anies yang cenderung sektarian, politik cemar asal tenar, jelas tidak lebih baik ke depan. Kesuksesan pemilihan kepala daerah DKI 2017 tidak lagi menjadi jaminan. Kegagalan ulangan dan copas ala Prabowo-Sandi jelas bukti bahwa pilkada itu tidak bisa diulang.
Tekanan publik atas keberadaan ormas fundamentalis juga merupakan pukulan telak bagi rancangan Anies. Melihat apa yang terjadi saat ini, kemungkinan makin nasionalis lebih kuat.
Sangat layak ketika nasionalis dan religius bisa bersaing dengan sehat, tentu akan lebih baik dan menjanjikan bagaimana negara memiliki banyak pilihan dan yang terbaik di antara yang baik itu menjadi pemimpin.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H