Sama-sama belum memberikan bukti kapasitas, orang akan cenderung lebih percaya AHY, itu boleh-boleh saja. Toh nampaknya akan tetap menjadi "penonton" saja posisi AHY, itu sangat mungkin. Mentor sekelas SBY masih belum cukup.
Kesabaran dan keuletan di dalam menapaki dinamika politik memang Mega jauh lebih mumpuni dibandingkan SBY. Bagaimana Orde Baru menempa Mega menjadi pesakitan, menjadikan ia guru yang baik dan berkelas bagi Puan. Menunggu dengan setia saat yang tepat, hitung-hitungan politik itu bisa saja banyak hasil, dan jangan dipikir seperti ilmu  pasti, tidak akan.
Belajar pada Anies
Tentu dipahami siapa Anies, toh ia ada di depan dalam banyak hal untuk 2024. Kualitas pembangunan Jakarta dengan segala kontroversinya jangan dikira bukan bagian dari strateginya untuk menjadi bahan pembicaraan.
Ia sukses dalam tiga kepentingan kelompok besar. Masuk tataran politik nasional bersama SBY dan Demokrat dalam konvensi menjelang pilpres 2014, ia makin moncer malah bersama kelompo pendukung JKw-JK. Ia terpental dalam pemerintahan Jokowi-JK kemudian melompat bersama dengan Prabowo dalam pilkada DKI.
Pandangan ia kutu loncat atau tidak pakem dalam kebersamaan, memang hal lumrah dalam politik. Justru bisa aman dalam banyak kepentingan dalam konteks politik itu pembeda. Menghadapi banyak isu-isu nasional ia cerdik, bisa juga orang menilai culas, toh masih belum sampai melanggar hukum, asal siap menghadapi hujatan, mengapa tidak. Lajulah ia. Bagaimana ia mengusung keranda jenazah kerusuhan Mei. Kini ia menawarkan pekerjaan ASN bagi pendemo yang terluka, atau ia mengatakan kalau mau demo anak sekolah bersama orang tua.
Cemar asal tenar masih menjadi gaya berpolitiknya. Toh ia merasa baik-baik saja dan pernah sukses. Dia lupa bahwa pilpres hal yang sama mengantar Prabowo-Sandi gagal. Itu tentu sudah Anies pikirkan matang-matang.
Pemilihan kelompok yang perlu ia rangkul. Ia cerdik, banyak hater, berarti banyak pemeberitaan dan masuk dalam ketenaran medsos. Ia sukses dengan cara itu. Soal Jakarta amburadul bukan prioritas. Skala prioritas ia pahami dengan baik dan jeli melihatnya.
AHY selama ini masih terlalu hijau memainkan peran politik. Masih jauh tertutup oleh banyak nama lain. Belum lagi ia masih terlalu kecil di dalam bayang-bayang SBY, nama ataupun inisial masih lekat dengan BY. Dengan Ibas ia masih kalah soal nama ini. Bandingkan dengan  Puan, yang lepas dari Mega dan Sukarno sama sekali ketika penyebutan nama. Ini soal nama sebagai identitas. Apalagi nama dalam konteks politik.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H