Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

[Salawi] Serba Salah Jokowi dan Memang "Salah" Jokowi

16 September 2019   19:44 Diperbarui: 16 September 2019   19:51 768
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Serba Salah Jokowi [Salawi] dan Memang Salah Jokowi

Beberapa waktu terakhir ini, sedang panas dan bahkan cenderung membara semua hal muaranya Jokowi. Bahkan salah sau media membuat gambar karikatur Pinokio segala. Padahal jika mau berpikir jernih jauh dari apa yang seharusnya disematkan.

Penghangat pertama soal revisi dan pemilihan komisioner KPK. Tarik ulur, saling silang, dan dukung atau anti terhadap kedua hal itu. Semua menuntunt dan menuding Jokowi. Padahal itu adalah gawe kerja sama kedua lembaga, kepresidenan dan dewan. Keduanya harus saling  bekerja sama

Hiruk pikuk, narasi berseliweran, dan kadang ada yang tersembunyi, atau memang disembunyikan dan seolah-olah itu penuh tanggung jawab Jokowi saja. Sangat bisa terjadi, karena lemahnya budaya membaca dan bersikap kritis. Mekanisme yang benar, tata aturan bernegara yang benar, seolah diabaikan.

Kedua, mengenai  kebakaran hutan. Tuntutan baik yang serius ke Jokowi ataupun becanda berseliweran. Ketika ada yang mencoba menetralisir dengan menerangkan buat apa pemda tingkat satu atau tingkat dua, toh banyak juga yang tidak terima. Pokoknya Jokowi harus turun atau bertanggung jawab.

Lagi-lagi dan ujung-ujungnya adalah salawi, serba salah Jokowi. Namun sedikit banyak Jokowi juga terlibat dalam "kesalahan" ini. Mengapa demikian?

Ini soal kepemimpinan dan pilihan seorang pemimpin. Jokowi sebagai seorang yang bukan siapa-siapa sebagaimana ia nyatakan. Berangkat dari rakyat biasa, bukan anak kolong, bukan lulusan Akabri dan STPDN, atau jajaran elit lainnya. Anak  rakyat bukan pejabat, pengusaha dari bawah bukan pengusaha multinasional seperti Aburizal Bakri atau Sandiaga Uno.

Dari sana berasal dan berawal, maka tidak heran ia memilih menjadi pemimpin tidak berjarak, pemimpin yang bersama dan di tengah warga. Keberadaannya sama juga keberadaan warganya. Ini hal baru banget.

Selama ini presiden adalah elit, jenderal yang paling lama, dan itu kaku, protokoler, berjarak, dan tidak bisa meneriaki seperti tetangga sendiri. Lihat saja bagaimana Pak Jokowi diteriaki seperti tetangga sendiri. Mengapa? Karena rakyat tidak merasa ada jarak, merasa bahwa itu bagian dari tetangga kanan kiri. Termasuk dalam media, sehingga tidak jarang jadi kurang ajar.

Bandingkan dengan dua jenderal yang lebih dari 40 tahun mengiasi bangsa ini. Mereka teratur, raoi, protokoler lengkap, pengawalan berlapis, dan mana ada yang berani berteriak baik dalam arti sesungguhnya ataupun dalam arti meneriakan kritikan.  

Rakyat yang sedang eforia ini ditingkahi elit yang mau menangguk keuntungan membuat semua pusatnya pada Jokowi. Mereka tahu, elit ini tidak  tidak mampu melakukan seperti Jokowi. Merebut panggung juga tidak mampu, akhirnya usil saja buat Jokowi. Toh mereka juga ikut dompleng. Itu saja pointnya.

Karena bersama dan ada di tengah rakyatnya, ia tahu persis apa yang terjadi. Nah ia benar-benar hadir dalam arti kiasan ataupun asli. Ada apa-apa ia gage-gage datang. Tidak heran mereka yang sedang perlu atau merasa butuh dukungan itu meminta Jokowi datang. Cepat-cepat hadir. Namun kadang mereka lupa, ada birokrasi, ada protokoler, ada analisis keamanan pun politis. Dan kadang warga tidak mau tahu dan paham ini.

Toh wajar, ada anak yang sedang nandang lara, nyebut bapaknya. Pilihan yang sejalan dengan model kepemimpinan Jokowi. Toh lagi-lagi ini dimanfaatkan bagi rival politik. Mereka membuat gaduh dan menuding Jokowi pilih kasih atau abai. Mereka lagi-lagi hanya iri, tidak mampu berbuat demikian dan mau menjadikannya bahan pergunjingan.

Elit ini juga paham kog mereka tidak mampu melakukan lebih baik, dan lagi-lagi paradigma iri karena tidak mampu itu terjadi. Mereka paham sepaham-pahamnya kalau Jokowi masih yang terbaik, hanya saja tidak elok kalau menyerah begitu saja.

Pilihan kepemimpinan tidak berjarak dan lepas begini memang riskan. Lihat era SBY yang militer, palagi ORBA, gampang banget "menjinakkan", dan tidak gaduh seperti ini, padahal apa yang dicapai? NOL BESAR. Demokrasi pun semu, kebebasan juga tidak sepenuhnya, tata negara dalam kendali satu figur, pun dalam pembangunan Jawa saja. Plus Bali, Sumatera sebagian, Sulawesi sebagian. Artinya, semua yang tertib, aman, nyaman namun semu

Politik itu bukan matematis. Berbagai pihak menilai presiden secara matematis, dukungan bak babi buta, kalau tidak sesuai pemikiran adalah tidak lagi idola, seperti saat memilih cawapres lalu, kemudian kini, identik. Tidak sedikit yang mengatakan kecewa, ah sia-sia mendukung dan memilih.

Presiden itu ada di antara semua, pendukung dan yang bukan. Yang pro dan kontra dan itu perlu jembatan. Ini namanya politik, lobi dan tawar menawar itu yang perlu dilakukan. Nah pendukung itu melihat apakah sudah berjalan dengan baik atau tidak, bukan kecewa dan berbalik arah.

Politik itu bukan hitam-putih, ada juga abu-abu, dan sering terbawa melihat sebagai putih dan hitam saja. Perlu lebih banyak melihat kepentingan-kepentingan yang ada. Di sanalah akhirnya akan ketahuan seperti apa sejatinya yang berjuang demi bangsa atau sebaliknya.

Rakyat yang sedang eforia, elit yang sedang kecewa, disikapi dengan tenang oleh Jokowi. Ia memang memilih kepemimpinan yang "salah" sehigga tidak mudah jalan yang harus ia lalui. Langkahnya berat dan sangat susah karena membuat senang ratusan juga orang bukan hal sederhana. Toh sudah  ia coba dan lakukan, hingga saat ini, masih pada rel yang sama, dan itu baik-baik saja.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun