Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Permintaan Maaf Somad Belajar dari Buya Syafii dan Malaysia Menghadapi Zakir Naik

22 Agustus 2019   10:58 Diperbarui: 22 Agustus 2019   11:09 2979
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Abdul Somad sudah menyatakan tidak perlu minta maaf karena alasan dogmatis, dan itu tidak bisa diganggu gugat. Toh Kwi melalui Mgr Suharyo juga sudah menyatakan sikap resmi tidak perlu diperpanjang, tidak perlu ditanggapi, dan tetap tenang. Setuju.

Rm Benny, demikian rekan Kompasianer menceritakan, jika tidak mau minta maaf yo wis, ya sudah. Kelihatannya Benny Susetyo yang menyatakan itu. 

Dan secara umum juga sama  kog, tidak ada yang meminta  Somad menyatakan permintaan maaf. Paus dalam konteks yang berbeda pun nada sama, kerendahan hati tidak ada tanpa penghinaan. Sejalan bukan? Dan bukan masalah.

Tentu ini bukan permohonan untuk menyembah kaii orang Kristen sebagaimana komentar Kompasianer beberapa waktu lalu. Hanya mau mengatakan pola pikir yang ada, reaksi, dan tanggapan yang ada. Dan itu pun sudah dibuktikan oleh waktu kog.

Beberapa tanggapan bagus menjadi referensi Kompasianer dan pembaca.

Muhamadiyah, salah seorang pengurusnya mengatakan, bahwa pada tahun 69, ketua umum Muhamadiyah diundang Akademi Katolik, kelihatannya yang mau dikatakan adalah Akademi Kateketik,, sekarang Stikat di Kota Baru Jogyakarta. 

Beliau diundang dan hadir kemudian berterima kasih serta memberikan kuliah umum, mengenai konsep Ketuhanan yang beliau yakini dan imani. Relasi baik-baik saja, dan tetap berjalan dengan iman masing-masing.

Tanpa harus menjelek-jelekan dan juga tidak melebih-lebihkan apa yang beliau yakini, itu kunci yang mau dikatakan, menurut sepehaman saya. 

Sama juga kita suka nasi goreng kan tidak lucu mencela bakso dan peminat bakso.  Benar bahwa agama bukan sekadar makanan, jangan malah nanti ribut nasgor dan bakso, ini sebatas ilustrasi.

Buya Syafii. Salah satu negarawan, ulama, tokoh agama, pernah menjadi ketua PP Muhamadiyah, beliau mengatakan kita lupa sila kelima Pancasila. 

Tidak berpanjang lebar, tidak memasuki ranah dogma, ataupun ceramah. Namun menyoal kebangsaan. Bagaimana hidup di alam Indonesia, alam plural, yang berarti bahwa itu harus mengedepankan tepa slira.

Sekian banyak tanggapan, cenderung sektarian, kelompokku, baik dan benar, abai soal bernegara. Buya hadir dengan kenegaraannya, dan menyatakan ada yang diabaikan, soal sila dari Pancasila.  

Jangan lupa, kita hidup sebagai bangsa Indonesia, landasannya adalah Pancasila, dan itu tentu sudah sesuai dengan ajaran agama apapun.

Beri contoh satu saja, di mana Pancasila dan agama bertentangan? Bukan oleh kata sepihak orang yang sok  tahu soal agama lain, agamanya masing-masing.

Di waktu yang relatif bersamaan, negara Jiran Malaysia memutuskan untuk mempertimbangkan hak tinggal Zakir Naik yang berulah di sana. Langsung PM bersikap.  Menteri-menteri bereaksi dan memberikan masukan kepada PM. Nada membela bangsa dan bukan pada pribadi yang potensial merusak harmoni Malaysia.

Dengungan antiulama relatif sepi, mengerikan jika itu terjadi di sini, apa yang akan terjadi coba? Kita dapat belajar beberapa hal dari kondisi yang ada;

Pertama kita malah abai akan Pancasila yang bisa menjadi jembatan pemersatu bangsa. Malaysia keraajaan Islam, tidak berpancasila, namun mereka menegakan hukum dengan semestinya. Artinya kita perlu belajar untuk point kedua ini.

Kedua, penegakan hukum. Jelas bagaimana hukum di sini masih takut dengan gerakan massa, tekanan publik atas nama mayoritas dan banyak. Padahal belum tentu banyak dan mayoritas pada posisi benar. Ingat ini bukan bicara soal agama saja, tidak usah baper dan nyolot apa-apa agama, dan merasa benar sendiri.

Ketiga, Melayu, sering dianggap lemah dalam aturan dan bertindak tertib aturan. Malaysia membuktikan bisa dan mampu. Artinya, bangsa ini saja yang abai untuk belajar dan mengambing hitamkan ras dan budaya. Kehendak bebas dan kehendak baik saja yang ada.

Keempat, membedakan mana ulama, mana perbuatan pribadi, dan mana yang melanggar hukum, mana yang berkedok agama, dan mana yang benar-benar agama. Jelas kog posisinya itu, hanya pada point dua, tenanan massa dan atas nama kelompok besar bisa menguasai keadaan, termasuk hakim dan penegak hukum lainnya.

Kelima, jangan kaget nanti Zakir Naik akan disambut meriah dan suka cita di sini sebagai ulama besar. Dan jika itu benar, tanda-tanda lebih banyak penyeru agama yang lebih suka merendahkan pihak lain sebagai gaya mendapatkan pendengar dan pengikut.

Keenam, Pancasila dan konsensus bangsa sudah jelas, namun mengaba menjadi lemah dan abai? Sekian tahun bangsa ini sudah dininabobokan dan dicekoki mabuk cara beragama. Ingat ini cara bukan agama. Lebih mengedepankan label dari pada esensi agama.

Dan susah melepaskan label itu dari pada yang esensial karena memang sengaja disumirkan untuk pada waktunya panenan itu dilakukan. 

Mana ada sih pemuka agama abai rendah hati? Atau mana ada sih agama kog mengajarkan caci maki, dan dasar Kitab Suci malah diabaikan demi membenarkan tafsir sepihak.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun