Ferdinand Hutahaen, Sumi Dasco, Belajarlah Menang Dulu dari Politikus Ini!
Dalam beberapa hari cukup banyak pernyataan politikus yang cukup lucu dan aneh. Bu Mega dalam kongres PDI-P di Bali mengatakan, jangan dikira enak semua mau ikut, karena pemenang. Ketika menang semua merapat dan merasa berjasa dan kemudian ngarep dapat kompensasi.
Tidak lama eh ada pernyataan pujian bahwa Jokowi itu memiliki kapasitas kepemimpinan tidak seperti Prabowo. Lucu dan aneh adalah ia mengaku kalau 2014 mendukung Jokowi, dan di 2019 mendukung Prabowo. Kalau melihat pernyataannya sendiri, Â dan dukungan ini justru aneh.
Orang yang pernah didukung, memiliki kapasitas kepemimpinan, dibuktikan lima tahun di dalam kinerjanya malah digantikan oleh tokoh lain yang dulu tidak didukung dan dia nilai tidak ada kapasitas kepemimpinan. Â Dari sini tidak berlebihan jika ada dua perihal mendasar yang bisa ditarik sebuah konklusi.
Satu, ia dulu mendukung dan berharap mendapatkan kompensasi, misalnya menteri, terlalu tinggi ya jabatan di BUMN atau sejenisnya. Sayang ia tidak mendapatkan itu.Â
Jika ini yang terjadi, pantes dalam mendukung tidak rasional. Rekam jejaknya bisa dikulik sendiri melalui bantuan google. Melimpah apa yang ia katakan soal Jokowi ataupun Prabowo, seperti apa dan itu jelas warnanya.
Dua, kini, karena sudah "salah" mendukung selama kurang lebih setahun dan dalam hingar bingar kampanye, mau memperbaiki diri dengan memuji Jokowi dan merendahkan Prabowo.Â
Nah apa pantes model politikus demikian diberi kepercayaan? Politikus model memuja dan menjelekan susah diberi kepercayaan lebih. Mengapa, ketika kecewa akan mengumbar kejelekan dan ini jelas merugikan banyak pihak, apalagi hidup bernegara.
Ia juga mencela pilihan koalisi Prabowo yang bersinergi dengan kelompok ultra kanan yang ia tuding sebagai biang kekalahan. Kalau tahu mau kalah mengapa tidak dikatakan sejak awal. Sama juga sudah berak dicelana baru  lari ke minimarket mencari pembalut atau obat sakit perut. Kalau menang apa juga akan bersikap demikian?
Sayang politikus model ini banyak, dan banyak pula elit yang terjebak dan tertipu. Syukur bahwa model mimikri ini sudah membuka  kedok sendiri. Jelas satu nama tidak perlu menjadi pertimbangan untuk menjadi apapun dalam kinerja pemerintahan mendatang. Pun bagi SBY perlu mengadakan evalusi bagi petingginya ini.
Politikus lain yang juga berbicara identik mengenai penunggang Prabowo, sebagaimana kata Sumi Dasco. Apapun yang dilakukan rekan kemarin, bukan untuk diumbar untuk menampilkan citra mereka sendiri yang bersih.Â
Aneh dan lucu tiba-tiba merasa bahwa rekannya itu adalah penderita kusta, padahal sebelum-sebelumnya sudah seia-sekata  dan seolah tak terpisahkan.
Apapu ide dan gagasan mereka toh disetujui dan dilakukan. Kog tiba-tiba ketika kalah merasa seolah rekannya itu sebagai musuh dalam selimut. Sangat tidak elok mengatakan ide dan gagasan yang cenderung buruk, brutal, dan melanggar hukum usai kekalahan. Apa iya demikian jika menang?
Tunggang menunggangi seolah hanya satu pihak saja yang diuntungkan. Kenyataannya dulu juga diam saja, bahkan seolah bahagia bersama-sama. Ada rekomendasi bahkan diubah dan disesuaikan, toh juga bahagia. Mengapa ketika kalah mengatakan hal yang buruk saja atas bagian dari kebersamaan mereka.
Ini mirip dengan abg jatuh cinta dan pacaran sejenak kemudian ada pandangan baru yang lebih menjanjikan. Artinya berpolitik mereka masih sebatas abg labil. Lha ini negara besar, jika dipimpin dan dikelola oleh ababil, ya bisa repot, mudah baper, mudah jeles, dan mudah ganti yang diinginkan.
Pemimpin itu soal visi, misi, dan menjalankan proses dan perjuangan itu dengan tekun, setia, dan taat. Bayangkan saja jika model mereka, ketika kalah menyalahkan rekan sendiri. Main dalam tim kekalahan ya kekalahan tim, bukan individu atau bagian-per-bagian.
Kesetiaan pada proses masih sangat lemah dan bahkan cenderung tidak ada. Kalah namun mau kursi. Lucu da aneh adalah tidak malu-malu dulu masa kampanye menggunakan kampanye hitam dan negatif tiba-tiba merasa ikut mengusung dan mendukung. Hal yang memalukan sebagai negara beragama dan berdasar Pancasila sebenarnya.
Penghargaan akan komitmen dan kebersamaan sangat rendah. Fokus pada kekuasaan. Jadi jangan heran ketika kalah menuding pihak lain sebagai biang keladi dan memuji-muji yang dulu direndahkan dengan seolah tidak ada rekaman yang ada. Ini zaman modern, jangan lupakan rekaman murah dan mudah dilihat ulang.
Maunya menang, tidak mau kalah. Entah ini karena penyakit sejak dalam tradisi dan turun-temurun atau apa. Hampir semua orang tidak siap kalah. Padahal dalam berkompetisi, salah satunya jelas pemilu, kalah itu bagian utuh atas berkompetisi. Bagaimana bisa maunya menang semua dan terus? Apalagi tidak dibarengi dengan kerja keras dan kerja cerdas.
Bu Mega bisa mengatakan kalau menang maunya ikut semua, karena pernah kalah dan merasakan kesepian itu. Perlu pembiasaan dan  menilai kalah itu sebagai bagian hidup yang tidak akan bisa disangkal. Mike Tyson pun pernah kalah kog.
Persoalan mental yang masih perlu pemikiran lebih serius dan mendalam. Infrastruktur sudah selesai dibangun dan itu fokus kemarin, kini hanya perlu tindak lanjut. Nah kini fokus lebih perlu diberikan pada bagian ini. Membangun mental, termasuk berani menghadapi kenyataan kalah.Â
Korupsi, terorisme, narkoba, ditingkahi sikap kerdil tidak siap kalah. Ini menjadi jembatan masuknya kekerasan dalam terorisme, maling anggaran untuk menaikan gengsi dan mau menang sendiri. Yang gagal akan mengambil narkoba sebagai  meningkatkan daya khayal yang lebih lagi.
Pekerjaan rumah pemenang itu tidak sederhana. Serius dan sangat berat karena banyak yang tidak sadar.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H