BPJS Oh BPJS
Usai terdengar adanya rumah sakit yang mengelabui BPJS dan merugikan demikian besar. Pengelabu ini bukan hanya satu namun puluhan, dan itu baru satu daerah yang  terungkap. Mungkin daerah lain pun sama. Jelas tidak kaget ketika kemudian terdengar BPJS lagi-lagi mengalami defisit anggaran. Toh ini bukan hal yang baru.
Eh dalam waktu yang tidak lama keluar pernyataan dari kementrian sosial yang akan menonaktifkan jutaan keanggotaan BPJS kesehatan yang menjadi tanggungan negara dengan BPI.Â
Bisa dipahami dan mengerti bahwa yang pernah dinonaktifkan itu bisa datang ke dinas sosial setempat untuk mendapatkan lagi haknya dengan mengulangi verifikasi, karena ditengarai banyak yang tidak tepat sasaran.
Hal ini sebenarnya penyakit lama di mana tabiat bangsa ini suka gratisan, suka bantuan, termasuk soal uang BLT, beras raskin, subsidi ini dan itu. Dapat dilihat juga rumah subsidi, berapa tahun kemudian jadi hunian atau kos-kosan cukup mewah, hanya mencari keuntungan dan mendapatkan  rumah dna tanah dengan murah, termasuk dengan membuat banyak rekayasa surat menyurat, mengapa demikian? Tentu bukan bahan kajian artikel ini.
Toh belum lama juga heboh dengan banyaknya rumah penerima PKH yang megah, termasuk menengah dan tidak paatut menerima bantuan. Toh mereka tidak malu-malu. Nah upaya verifikasi keanggotaan BPJS bisa diterima nalar.
Namun potensi masalah timbul dengan mekanisme ini ada pada petugas lapangan yang berhadapan dengan rakyat-pasien-penderita. Kelihatannya sosialisasi masih jauh dari harapan. Akan mudah ditemui perselisihan di loket ketika kartu mereka sudah terblokir, mengapa?
Pertama, kebiasaan bangsa ini adalah lemah dalam cek dan ricek, tabiat nggampangke, masih lebih dominan, pemberitahuan pada anggota kepersertaan sangat mungkin, namun ke Puskesmas, Rumah Sakit, atau dokter keluarga sangat mungkin hanya akses sudah terhenti. Nah mereka lah yang akan menjadi sasaran emosi dan kemarahan.
Kedua, budaya dalam point satu itu diperparah dalam kondisi orang yang lemah karena sedang tidak enak badan. Pikiran menjadi kalut dan tidak normal, dan malah menghadapi kenyataan lebih buruk, dan akhirnya ribut yang terjadi.
Ketiga, verifikasi ulang sangat penting, namun perlu dipikirkan dampak dan kondisi yang bis terjadi dengan pelaku langsung di lapangan. Kemungkinan sangat kecil emosional terjadi pada dinas sosial terkait.
Keempat, perlu pendektan ke lapangan secara langsung, perangkat desa sampai tingkat paling rendah RT tahu dengan baik. Namun perlu ketegasan karena biasanya mereka ini juga termasuk biang masalah. Mengapa?