Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Rebutan Kursi Ketua MPR Oleh Parpol Kalah dan Perkembangan Politik Positif

23 Juli 2019   08:04 Diperbarui: 23 Juli 2019   08:12 890
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih segar dalam ingatan betapa 2014 partai politik demikian ugal-ugalan untuk sabotase kekuasaan. Kalah pilpres mereka menguasai dewan dan segala alat  kelengkapannya majelis, juga senator.  Mereka sapu bersih, parpol marah dan meradang. Posisi secara hitung-hitungan "oposisi" menang.

Usai satu demi satu rontok karena lompt kandang mendukung pemerintah, usai sekian bulan tarik ulur dan aktivitas dewan mogok, asli seperti anak kecil kalah lomba kelereng aksi mereka. Tarik menarik, akhirnya gugur satu demi satu, ada pembagian kursi, pun masih dicicil dan sebatas wakil ke bawah.

Puncaknya ketika sudah benar-benar lupa dan tidak lagi berdaya malah merevisi UU demi memenuhi tertib hukum. Jadi hukum yang harus tunduk pada perilaku tamak mereka. Kegagalan dan kegilaan demokrasi itu bagian utuh dari sejarah. Itu fakta kelam yang memang harus dilalui.

Periode 2014 itu parpol yang kalap. Sangat wajaar generasi tua, macam ARB, Hatta Rajasa, Amien Rais masih demikian digdaya. Mereka masih punya kekuatan dan pengaruh untuk membuat mrah hijaunya politik tanah air. Di dalam tangan mereka-merekalah warna politik itu tercipta. Periode ini, bukan parpol yang kalap, namun pribadi-pribadi, oknum.

Cukup menggembirakan, panasnya perpolitikan tanah air tidak seheboh 2014, karena bukan parpol yang ngeyel namun hanya orang per orang. Ada Amien Rais,  beberapa orang dari partai ini dan itu, namun toh dibantah oleh rekan separtai, atau sekoalisi. Berbeda kondisi dan pelaku yang sedang mau riuh rendah, partai cenderung adem ayem kini.

Parpol dan para ketum juga cukup tahu diri, sebagai pemenang PDI-P jelas wajar mendapatkan kursi ketua dewan. Padahal 2014 hal itu tidak demikian. Justru yang ramai dan riuh rendah ada pada "perebutan" ketua MPR. Gengsi, level, dan kelas MPR memang tidak segede menteri atau ketua dewan. Hanya pelengkap.

MPR dan ketuanya di era Soeharto adalah digdaya, lembaga tertinggi negara, dan kini menjadi lembaga tinggi negara saja, pamornya pun tidak sementereng menteri apalagi presiden, ketua dewan. Mereka yang berebut  adalah partai-partai kalah pemilu. Bagus kondisi ini, parpol tahu diri, memang ada yang lucu dan aneh.

PAN, ini sejak awal memang mengincar untuk bertahan di sana. Kemarin sudah satu periode dan enak, Zulhas berkehendak melanjutkan kepemimpinannya. Lagak dan gayanya pun kelihatan dengan tidak cukup jelas warna politiknya. Sebentar ke Prab namun juga ke Jokowi. Mau kursi yang jangan sampai lepas, toh suara tidak cukup kuat untuk memilih yang lain.

Golkar dan PKB. Pemenang suara dan kursi yang berbeda, mereka setali tiga uang untuk bisa mendapatkan posisi strategis ketiga ini. Mereka merasa "paling" berjasa dan awal untuk mengusung dan mendukung serta memenangkan Jokowi-MA.  Upaya yang masih wajar dan normal. Mereka memang bekerja keras selama ini.

Gerindra, nah ini tiba-tiba pengin juga. Usai Jokowi-Prabowo ketemu, mereka ternyata senang juga dengan kursi yang belum pernah mereka nikmati. Atas nama rekonsiliasi, wajar dan normal juga jika mereka merasa berhak atas kursi itu. Usai ngebet presiden dengan segala daya upaya mereka kini melirik ketua MPR.

Bagusnya mereka tidak memaksakan untuk mendapatkan kursi ketua dewan, padahal kemarin mereka toh kalah juga dengan Golkar yang sudah bangkotan main asam garam memegang kendali politik bangsa ini. Masih ada  hal baik, jika hanya mengupayakan ketua MPR.

Demokrat, AHY mengatakan mereka tidak akan tinggal diam, jika Gerindra mengincar ketua MPR. Cukup lucu dan aneh, suara mereka tidak cukup signifikan untuk bisa berbicara dan bersaing dengan Gerindra, Golkar, dan PKB. Mereka hanya menang dengan PAN saja.

Alasan Demokrat sedikit banyak bisa diraba karena ketika mereka menang pemilu memberikan kursi ketua MPR pada Taufik Kiemas almarhum dari PDI-P. Ini kemungkinan yang menjadi dasar dan alasan mereka untuk berani "bersaing" dengan partai-partai besar lainnya.

Ada yang membaik, bahwa perebutan itu kini bukan berbicara parpol dan koalisi namun orang per orang, berbeda dengan 2014. Sudah ada perubahan dan perbaikan yang cukup menggembirakan. Namun masih miris juga dengan beberapa hal.

Mereka riuh rendah pada jabatan, bukan pada apa yang mau mereka buat.  Hanya berbicara kursi ketua, namun mau apa dengan MPR di masa depan, mau dibawa ke mana negara ini dengan keberadaan MPR itu. Sama sekali tidak ada yang baru dengan apa yang mereka ributkan. Hanya soal kursi bukan soal berbangsa menjadi lebih baik.

Jika boleh usul, ketua MPR itu bukan untuk PAN karen kontribusinya juga minim, satu periode juga tidak ada yang signifikan bagi bangsa dan negara. Sangat jelas alasan untuk bukan PAN.

Cukup realistis itu Golkar, Gerindra, dan PKB. Ketiga di antara mereka dengan alasan dan rekam jejak masing-masing. Siapa dan ke partai apa pertimbangan relatif sama, hanya soal berbangsa yang layak menjadi pertimbangan. Suara mereka juga relatif berimbang.

Demokrat sangat lemah jika berbicara ketua majelis, apalagi jika bicara soal balas budi. Dulu zaman SBY, PDI-P memiliki kursi yang cukup kuat, berbeda dengan Demokrat.

Demokrasi kita memang masih tertatih, namun sudah cukup signifikan perubahan untuk itu. Perkembangan baik  yang patut disyukuri.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun