Masih segar dalam ingatan betapa 2014 partai politik demikian ugal-ugalan untuk sabotase kekuasaan. Kalah pilpres mereka menguasai dewan dan segala alat  kelengkapannya majelis, juga senator.  Mereka sapu bersih, parpol marah dan meradang. Posisi secara hitung-hitungan "oposisi" menang.
Usai satu demi satu rontok karena lompt kandang mendukung pemerintah, usai sekian bulan tarik ulur dan aktivitas dewan mogok, asli seperti anak kecil kalah lomba kelereng aksi mereka. Tarik menarik, akhirnya gugur satu demi satu, ada pembagian kursi, pun masih dicicil dan sebatas wakil ke bawah.
Puncaknya ketika sudah benar-benar lupa dan tidak lagi berdaya malah merevisi UU demi memenuhi tertib hukum. Jadi hukum yang harus tunduk pada perilaku tamak mereka. Kegagalan dan kegilaan demokrasi itu bagian utuh dari sejarah. Itu fakta kelam yang memang harus dilalui.
Periode 2014 itu parpol yang kalap. Sangat wajaar generasi tua, macam ARB, Hatta Rajasa, Amien Rais masih demikian digdaya. Mereka masih punya kekuatan dan pengaruh untuk membuat mrah hijaunya politik tanah air. Di dalam tangan mereka-merekalah warna politik itu tercipta. Periode ini, bukan parpol yang kalap, namun pribadi-pribadi, oknum.
Cukup menggembirakan, panasnya perpolitikan tanah air tidak seheboh 2014, karena bukan parpol yang ngeyel namun hanya orang per orang. Ada Amien Rais, Â beberapa orang dari partai ini dan itu, namun toh dibantah oleh rekan separtai, atau sekoalisi. Berbeda kondisi dan pelaku yang sedang mau riuh rendah, partai cenderung adem ayem kini.
Parpol dan para ketum juga cukup tahu diri, sebagai pemenang PDI-P jelas wajar mendapatkan kursi ketua dewan. Padahal 2014 hal itu tidak demikian. Justru yang ramai dan riuh rendah ada pada "perebutan" ketua MPR. Gengsi, level, dan kelas MPR memang tidak segede menteri atau ketua dewan. Hanya pelengkap.
MPR dan ketuanya di era Soeharto adalah digdaya, lembaga tertinggi negara, dan kini menjadi lembaga tinggi negara saja, pamornya pun tidak sementereng menteri apalagi presiden, ketua dewan. Mereka yang berebut  adalah partai-partai kalah pemilu. Bagus kondisi ini, parpol tahu diri, memang ada yang lucu dan aneh.
PAN, ini sejak awal memang mengincar untuk bertahan di sana. Kemarin sudah satu periode dan enak, Zulhas berkehendak melanjutkan kepemimpinannya. Lagak dan gayanya pun kelihatan dengan tidak cukup jelas warna politiknya. Sebentar ke Prab namun juga ke Jokowi. Mau kursi yang jangan sampai lepas, toh suara tidak cukup kuat untuk memilih yang lain.
Golkar dan PKB. Pemenang suara dan kursi yang berbeda, mereka setali tiga uang untuk bisa mendapatkan posisi strategis ketiga ini. Mereka merasa "paling" berjasa dan awal untuk mengusung dan mendukung serta memenangkan Jokowi-MA. Â Upaya yang masih wajar dan normal. Mereka memang bekerja keras selama ini.
Gerindra, nah ini tiba-tiba pengin juga. Usai Jokowi-Prabowo ketemu, mereka ternyata senang juga dengan kursi yang belum pernah mereka nikmati. Atas nama rekonsiliasi, wajar dan normal juga jika mereka merasa berhak atas kursi itu. Usai ngebet presiden dengan segala daya upaya mereka kini melirik ketua MPR.
Bagusnya mereka tidak memaksakan untuk mendapatkan kursi ketua dewan, padahal kemarin mereka toh kalah juga dengan Golkar yang sudah bangkotan main asam garam memegang kendali politik bangsa ini. Masih ada  hal baik, jika hanya mengupayakan ketua MPR.