Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

PSI, Ninoy Karundeng, dan Sikapnya

10 Juli 2019   19:28 Diperbarui: 10 Juli 2019   19:39 1952
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cukup hangat apa yang dialami Kompasianer Ninoy Karundeng, pagi tadi pas buka FB masih sempat membaca opininya. Berdiskusi dengan seorang Kompasianer mengenai isinya, dan tiba-tiba sudah hilang dari FB, namun masih ada di PN.  Saya mengopi artikel itu dari PN untuk satu grup perbincangan.

Makin siang, makin banyak grup yang membicarakan. Ada dua yang cukup menarik karena ada tarik urat syaraf di sana. Pertama ada yang malah menuding saya ngehoax, padahal saya berkomentar atas artikel yang dicopaskan rekan. Diskusi sedikit panjang akhirnya bisa ada titik temu soal istilah hoax yang tidak tetap dipilih rekan tersebut.

Kedua, ada yang berdiskusi sedikit panjang dan lebar, panas juga karena ada yang menyatakan betapa kecewanya pada PSI, dan rekan lain menilai tidak demikian. Sangat  wajar dan layak jika ada pro dan kontra, terhadap artikel tersebut. Terutama berkaitan dengan keberadaan PSI yang dalam masa kampanye kemarin memang cukup menarik perhatian.

Opini itu hak sepenuhnya penulis, jika mengikuti pola tulisan Ninoy orang akan paham sebenarnya seperti apa alur, maksud, dan kebiasaanya. Berkaitan dengan zonasi toh banyak yang membagikan dan tidak ada yang protes, padahal juga cuma dia yang menuliskan pungli dalam penerimaan siswa baru.

Pelaporan dan akhirnya tulisan di FB dihapus sebenarnya memperlihatkan PSI dengan pola dan wajah parpol kuno. Kredit poin berkurang bagi saya pribadi. Jauh lebih elok dan elegan, tampilkan opini sebanding, meskipun memang "penghakiman" Kompasianer Ninoy masih cukup prematur.

Ada beberapa alur penyajian data bahwa orang yang ia sebut itu memang ada kecenderungan yang cukup berbeda dengan apa yang dinyatakan dengan garang dalam kampanye kemarin. Dan ketua umum yang menjanjikan itu pun masih diam. Ingat kata masih, artinya belum tentu diam seterusnya, atau berbicara kapan juga belum tentu.

Satu fakta itu dipakai, dan memang tidak salah juga apakah  itu bisa menjadikan PSI nantinya bisa bekerja sebagaimana harapan publik yang selama ini begitu percaya akan membawa pembaharuan. Masih terlalu dini dan kurang cukup data, masih perlu bukti kinerja di dewan Jakarta khususnya.

Persepsi publik yang demikian tinggi, ekspektasi besar atas harapan partai politik yang berbeda membuat banyak orang menjadi sensitif, karena kemungkinan realitas politis sangat mungkin terjadi. Susah berbicara partai politik dan politikus bersih di alam demokrasi seperti ini. Ingat ini  sistem. Belum tentu juga seburuk yang dipikirkan.

Citra bagus, citra positif demikian tinggi itu, ketika ada sebuah potensi "noda" beramai-ramai menyatakan dukungan dan kekecewaan. Sangat wajar dan sangat alamiah, di alam demokrasi yang masih coba-coba. Nantinya toh akan kembali seperti idealnya.

Pemilih, simpatisan, dan juga pendukung, termasuk yang kagum, patut belajar menempatkan posisi partai baru ini pada proporsinya sehingga tidak menjadi mudah mengatakan bahwa itu hoax, atau membela tulisan itu sebagai kesesatan yang amat sangat. Itu opini, bukan berita, bukan juga hasil investigasi.

Bagi yang meyakini tulisan itu ada kebenarannya atau bahkan benar, juga perlu melihat bahwa itu masih ada bagian yang terlalu dini jika dianggap mewakili PSI secaraa utuh dan organisatoris. Bekerja saja belum kog. Bahwa ada ucapan dukungan untuk IMB oleh salah satu elit mereka, ya tunggu saja muaranya seperti apa.

Pelaporan dari PSI juga terlalu dini, mengapa? Karena ini adalah opini, sangat bisa dijawab dengan opini untuk mendewasakan berpolitik. Benar bahwa pelaporan itu hak konstitusi, namun apa bedanya dengan partai kuno yang mati-matian selalu merasa benar. Hak jawab jauh lebih penting. Mengembangkan narasi berdemokrasi yang lebih dewasa dan sehat.

Mengapa? Jika orang menuliskan opininya, kemudian ada sebagian data dan sebagian adalah spekulasi, dan dimaksudkan itu sebagai sebuah kritik membangun, tentunya akan menjadi baik. Asumsi bahwa itu sebagai pembunuhan karakter, mau merusak citra partai, dan sebagainya itu kog berlebihan.

Bagaimana mereka juga dulu melakukan kritik pada partai-partai lama dan itu juga dijawab dengan jawaban yang sama. Pendekatan yang sama dengan apa yang mereka lakukan.

Perlakuan yang mengatakan memaafkan namun konsekuensi hukum tetap berjalan, perlu menjadi bahan permenungan kembali. Partai baru yang cukup menjanjikan, namun ternyata berpola yang sama dengan partai lama. Coba menjawab dengan opini yang sama, menuliskan dengan bahasa yang sama, mana yang benar, mana yang salah, dan jangan diulangi atau semacamnya.

Negara hukum dan penegakan hukum setuju dan sepakat, namun apakah iya dengan alasan opini yang seperti itu juga layak untuk dibawa ke meja pengadilan. Jauh lebih banyak hal yang memprihatinkan di depan hukum bangsa ini, toh masih melenggang bebas.

Jauh lebih banyak yang ugal-ugalan di dalam menulis dan bersikap, toh masih baik-baik saja. Pembelajaran tidak mesti tuntutan pidana kog, dan Ninoy cukup pembelajar juga.

Perhatian dan pembelajaran bersama bagi Kompasianer di dalam menulis sehingga tidak menjadi masalah ke depan.  Hati-hati dan cermat di dalam menuangkan opini di dalam tulisan.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun