SBY Penumpang dan Ancaman Masa Depan Demokrat
Usai gelaran pemilu dengan seluruh prosesnya, Â Demokrat digoyang dinamika internal yang cukup berat. Pendiri dan para kader muda seolah berebut panggung. SBY yang masih dalam suasana duka tentu sangat susah untuk dapat berpikir dengan jernih dan menyeluruh.
Perang urat syaraf antara pada pendiri dan orang "baru" ini cukup panas. Bagaimana tidak meradang para pendiri dianggap bukan  siapa-siapa oleh orang "baru", padahal mereka memiliki hak suara. "Orang baru" yang memang suka bicara baru mikir ini sangat membahayakan Demokrat sejatinya.
Para pendiri ini pun jangan lupa, bahwa Demokrat itu bukan siapa-siapa tanpa SBY menjadi presiden dua periode. Ini harus disadari dulu sebagai fakta yang tidak bisa dibantah jangan mengatakan mereka mendirikan partai dan SBY itu penumpang. Benar penumpang, namun yang membuat kendaraan itu layak lirik karena penumpangnya itu.
Demokrat dan ujung jalan perpecahan.
Para pendiri ini sejatinya hanya orang-orang yang kesepian, terlupakan, dan tersingkirkan dari hingar bingar politik saat ini. keberadaan SBY dan AHY serta EBY yang seolah membuat mereka gundah. Mengapa dulu diam, ada presiden, dan kedua anak itu bukan ancaman serius, semua terlena.
Tudingan posisi AHY sebagai Kosgama yang ilegal tentu serius. Hal yang bukan main-main dan sepele. Memang siapa AHY bagi Demokrat, bukan anak SBY lho. Orang tidak akan kaget jika Ibas yang ada di sana, karena memang sejak lama aktif dalam partai.
AHY yang jelas lebih moncer membuat banyak pihak perlu berhitung, dan itu hanya sebentuk gertak sambal dalam politik. Aku dapat apa jika melakukan apa. Trik sangat biasa dalam politik. Dan semua juga sudah pada tahu kog. Arah perpolitikan itu ke mana.
Namun jangan dianggap enteng dan mengatakan mereka tidak punya hak suara, apalagi oleh politikus kemarin sore, lebih banyak menimbulkan masalah dari pada prestasi.
Posisi krusial bagi SBY, mau mendengarkan semua pihak, atau tetap berlaku sebagaimana usai pilkada DKI dengan politik ugal-ugalan ala Ferdinand dan Andie Arief. Memang usai Malarangeng masuk kerangkeng, dan jelas kaliber Anas masuk bui, Ruhut membelot, Demokrat kehilangan taji dan permainan politik yang mulus dan menglaim sebagai politik santun.
Yang tersisa model cari aman seperti Agus Hermanto, di dewan juga tidak memiliki jaminan yang moncer. Hanya pokok berjalan saja. Macam apa yang mau dibanggakan partai politik dengan politikus demikian?
Generasi ini banyak bertengger, seperti EE Mangindaan, juga tidak memberikan dampak banyak. Amir Samsudin, tidak terdengar suara dan visinya. Ada pula eks menteri yang mengirim anak dan sopirnya ke penjara. Sekarang mereka hanya dompleng pada Demokrat.
Ada pula Roy Suryo yang lebih banyak ngakak dan membuat candaan dari pada jaminan kualitas. Malah nyaring soal membawa ribuan barang dari kementerian yang ia pimpin. Bagaimana tidak membuat makin tenggelam, usai penggantinya sukses level Asian Games. Sudah mules makin mungkret pula.
Politik santun yang diklaim selama ini sudah hancur lebur hanya oleh beberapa gelitir politikus gagal Demokrat. Wajar jika forum pendiri meminta pertanggungjawaban untuk bebenah. Ingat Demokrat itu berjaya ketika memegang pemerintahan saja, bisa dimaknai sendiri bukan artinya apa?
Para pendiri ini juga dapat dimengerti, mereka seolah terasing dari kue partai yang dinikmati justru oleh pendatang yang berperilaku tidak karuan. Hal yang sangat bisa dipahami ketika mereka berteriak untuk mendapatkan udara segar.
Apakah itu semata klaim atau benar demikian, jelas bisa dilihat. Produk reformasi sudah mengenal jejak digital. Mengapa dulu diam saja? Sangat biasa ketika kenyang semua diam, pas sulit merasa ini dan itu. Nah ini sangat pendting mengambil keputusan dalam  kondisi demikian.
Posisi mendekat kepada pemerintah masih juga alot dan belum ada tanda-tanda yang jelas, kemungkinan bersama dengan koalisi 02 kemarin juga sudah susah. Permainan anak-anak baru yang masih grusa-grusu dan kegerahan para sesepuh ini tentu membuat SBY puyeng.
Keadaan SBY yang masih limbung politik dan personal dengan wafatnya sang istri menguras energi luar biasa. Keadaan ini tentu membuatnya makin berat. Jika tidak hati-hati, semua habis dan tidak bersisa, Demokrat selesai dan menjadi bagian sejarah.
Melupakan jasa rekan dan memilih teman baru menjadi gaya SBY. Dan itu tabungan atau investasi yang harus dibayar mahal. Tidak ada kawan loyal yang ada kepentingan dan pokok aman. Sangat serius, apalagi seolah SBY satu-satunya pemilik partai.
Pemilihan kader muda yang malah merusak reputasi menggambarkan SBY kehilangan kendali. Warna partai politik Demokrat hilang, selain ambigu dan main dua kaki. Memegang anak buah gagal, mengendalikan sesepuh pun gagal.
SBY membayar mahal pilihannya kali ini. Pernah enak namun berbagi dengan seenaknya sendiri, dan ketika banyak yang tidak puas, ya wajar teriak-teriak.
Perlu kehati-hatian dan jauh lebih penting adalah komunikasi seluruh elemen, jangan sampai malah membuat perpecahan dengan tudingan dan tuduhan tidak penting ala Ferdinand itu. Apalagi sampai pecat memecat. Jika demikian, pengalaman Golkar dan P3 bisa terjadi.
Langkah bijak lebih menguntungkan dari pada pendekatan kekuasaan. Susahnya SBY ini pada AHY saja belum percaya, makin susah. Sudah waktunya AHY tampil dan meyakinkan sesepuh dan publik mampu. Bayang-bayang SBY tidak selamanya bagus untuk AHY dan Demokrat.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H