Anies Baswedan, Terima Kasih Telah Mengantar Jokowi pada Periode II
MK semalam telah mengeluarkan keputusan bahwa pasangan Joko Widodo-KH Maruf Amin adalah presiden dan wakil presiden terpilih. Gugatan dan upaya Prabowo-Sandi tidak terbukti. KPU pun semalam menyatakan nanti pada Minggu 30 Juni akan menetapkan pasangan terpilih sebagaimana tuntutan peruundangan, usai gugatan di MK usai.
Riak kecil mungkin masih akan ada, alun-alun lain masih akan hadir, dengan pidato pasangan yang kalah minim dengan pengakuan dan ucapan selama kepada pasangan terpilih. Hal yang sama juga terjadi lima tahun lalu, jadi hal yang wajar saja, apa yang tersaji.
Salah satu hal yang menarik dan berkontribusi besar itu ada diri  Anies dan Ahok-BTP sebagai pelaku yang banyak berperan bagi kemenangan Jokowi-KHMA. Beberapa hal layak disimak,
Pertama, Ahok-BTP dengan model berbicara dan bersikap membuat perkubuan politik identitas demikian kuat dan besar. Siapa yang ada di mana itu karena Ahok-BTP-lah terkuak dengan gamblang. Tidak semata orang per orang, namun organisasi, ormas, dan elit negeri ini. semua lini mengungkap jati diri dan wajah mereka.
Mereka berpikir ini lah saatnya, dan kemenangan di Jakarta membuat mereka ini lupa diri, kalap, dan tidak lagi menginjak bumi. Perilaku yang sama dilakukan untuk Indonesia yang jelas jauh brbeda konteks dan kondisi.
Kedua, peran Anies Baswedan. Dua hal yang layak dicermati, satu soal ia sebagai lambang atau simbol perlawanan oleh duet Gerindra-PKS sebagai oposan utama pemerintahan pusat. Dan ia sukses menjungkalkan Ahok-Djarot yang demikian digdaya.
Dua, peran ia dalam memimpin Jakarta yang jelas kelihatan mundur, paling tidak seolah tidak ada perubahan signifikan. Laju pembangunan yang demikian kencang dalam era Jokowi-Ahok-Djarot, balk ke era lama.
Anies dan kawan-kawan di BPN, menjabarkan dengan gamblang dua hal itu, seolah akan sama seperti yang diperoleh dalam pilkada DKI, justru menjadi blunder berkepanjangan sandiwara demi sandiwara bertebaran dan terungkap itu settingan gagal. Itu sama sekali bukan bahan pembelajaran namun masih saja menuding ke mana-mana. Miris.
Ketiga, peristiwa pilkada DKI yang akan diulang dalam pilkada lain menunjukkan mereka miskin kreatifitas. Rencana satu saja, jika gagal ya habis. Harusnya mereka membaca dan melihat dengan baik juga capaian di Jawa Tengah. Itu jauh lebih mendekati pilpres, dinamika, persaingan, dan konteks dan kondisinya.
Keempat, pemilih juga melihat rekam jejak pilkada 2017 DKI Jakarta itu sebagai sebuah kecelakaan, apalagi narasi yang ditampilkan lagi-lagi sama dan sebangun. Membangunkan bangsa ini jangan sampai terulang. Lihat bagaimana tingkat partisipasi demikian tinggi, karena kesadaran satu suara atau satu pemilih itu penting.
Kelima, kemenangan pilkada DKI juga membuat Sandy menjadi seolah superstar yang telah gilang gemilang dalam berbagai hal. Ia abai,sehingga melahirkan berbagai-bagai kelucuan dan blunder yang fatal, seperti Bali dengan wisata syariahnya. Jelas membuat mereka kehilangan potensi pemilih dari daerah-daerah yang dihuni oleh Kebhinekaan. Ia abai karena merasa sukses di Jakarta, lagi-lagi abai konteks.
Jakarta dulu, semua paham kog yang bekerja itu orang secara nasional, dan hanya untuk Jakarta. Pola pikir terbalik, ketika untuk nasional menggunakan paradigma Jakarta, dihukum dengan kekalahan yang demikian mudah.
Mereka abai membangun narasi, termasuk membangun rencana ketika satu rencana mati kutu. Lihat mereka hanya mengandalkan ok -- oce terus yang jelas program tidak jelas dari Sandy dan Prabowo dengan narasi utang dan kepemilikan, yang malah bumerang bagi mereka.
Keenam, posisi Anies yang seolah kaget menang itu menampilkan potensi wajah negara jika dipimpin duet Prabowo-Sandi yang juga tidak memiliki visi jelas. Kekhawatiran hanya akan antitesis pembangunan sebelumnya demikian kuat dan itu benar-benar bisa terjadi, karena Jakarta pun dikelola dengan demikian.
Capaian Anies yang lebih parah saat sendirian menjadikan pemilih khawatir menyerahkan pilihan pada pasangan ini. Jangan sampai negara mundur lagi karena masa depan cerah sudah terlihat meskipun belum benar-benar terjadi sepenuhnya.
Ketujuh, narasi dan retorika Anies digunakan Prabowo-Sandi, yang tidak cukup  piawai malah membuat masalah dan kekecewaan banyak pihak. Makin enggan pemilih melabuhkan suaranya pada pasangan mereka. Narasi dan retorika berulang-ulang yang tidak jelas mau ke mana itu ditampilkan dalam kepemimpinan Jakarta.
Kedelapan, kesadaran bahwa pilkada DKI dan Anies adalah kecelakaan demokrasi. Hal yang sama tidak ingin menimpa Indonesia dan dilakukanlah people power dengan mendatangi TPS dengan kegembiraan. Pesta demokrasi terjadi.
Kesembilan, entah karena kepedean sebagaimana poin awal di atas semakin jelas warna identitas bukan lagi politik yang lebih kental. Partai politik seperti Demokrat menjaga jarak dan bahkan akhirnya menarik diri karena salah satu wajah yang tidak pas ini lebih dominan.
Terima kasih pada Anies Baswedan yang memberikan pembelajaran pada bangsa dan pemilih negeri ini untuk bersikap dengan baik. Politik itu soal pilihan, salah sedikit saja, lima tahun taruhannya. Syukurlah bahwa lima tahun ke depan, perjalanan bangsa ini melalui mekanisme yang sudah dilalui lima tahun lampau.
Selamat atas terpilihnya Bapak Joko Widodo KH Maruf Amin, selamat bekerja untuk negeri ini.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H