Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Faldo Maldini, Sidang MK, dan Politik Kurang Ajar, Jokowi Tanggung Jawab

20 Juni 2019   10:36 Diperbarui: 20 Juni 2019   10:55 1826
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Salah satu ulasan hangat selain gugatan di MK adalah keberadaan video Faldo Maldini. Sebagai salah satu juru bicara, dan juga politikus pengusung Prabowo-Sandi ia menyatakan apa yang sangat berbeda dengan upaya mereka.

Dua hari menjelang sidang perdana, cocok jika itu menjadi pengantar gugatan ke MK daripada pengantar dalam gugatan resminya. Gugatan resmi lebih pada narasi dan opini, dan Faldo menyataka justru analisis politik dan hukum yang lebih mendekati hal yang faktual.

Analisis soal selisih suara yang harus dibuktikan di persidangan MK yang mencapai 17 juta selisih suara, ia asumsikan dalam suara per TPS jika Prabowo menang 100% dan seterusnya. Hingga mendapatkan angka 36 ribu hingga 200 ribu TPS jika asumsi kemenangan Prabowo menurun. Sangat logis dan itu acara di MK yang sebenarnya.

Faldo juga menengarai bahwa apa yang selama ini dinarasikan justru mengarah pada delegitimasi pemilu, khususnya pilpres dan mengganti pemenang pemilihan presiden dengan seturut dukungan sendiri. Cukup obyektif apa yang disampaikan.

Persidangan di MK pun persis dengan apa yang disampaikan Faldo, cenderung bukan perselisihan hasil pemilihan umum, namun berkutat pada legitimasi pemilihan presiden khususnya. Beberapa hal patut dilihat dan dikupas.

Konsentrasi pada DPT. Ini jelas usang, karena sejak sebelum menjadi DPT sudah ada DPS dan itu kedua kubu dan parpol sudah terlibat. Jauh-jauh hari sudah dilakukan cek dan ricek yang berkali ulang dan akhirnya semua teken, bahwa sudah relatif aman.

Bawaslu pun sudah menyatakan sah dan tidak ada lagi prosedur yang dilanggar dan pemilihan presiden selesai dan relatif baik dan kemudian menyatakan selesai. Jalur MK itu upaya terakhir. Jadi soal DPT tidak ada lagi urgensi dan kegentingannya. Semua sudah jelas. Apalagi saksinya pun akhirnya belepotan.

Angka kemenangan dan menjadi dalil  perselisihan, ini sedikit menjadi bahan, dan ketika dikaitkan DPT malah kemenangan ada pada pihak mereka sendiri. Apa yang terjadi ini hanya kekacauan yang dengan segala hormat maaf  bahwa hanya berkisar pada kehendak menang tanpa mau  kerja keras.

Mereka menuding curang namun malah arah bukti kecurangan pada pihak sendiri. Ini bukan lagi blunder namun malah bunuh diri dan bumerang amat telak mengantam inti masalah yang mereka tudingkan.

Fokus pada posisi KHMA, mengapa bukan saat prapencalonan, atau di Bawaslu kemarin. Kalau belum tahu jelas ini alasan yang main-main. Mengapa ketika kalah mencari dalih dan meminta diskualifikasi bagi kubu lawan. Aneh dan lucu, jika menang tidak, apalagi ada permintaan pemilu ulang, mengapa calon yang dinilai cacat hukum namun ada permintaan pemilu ulang?

Berkaitan dengan permintaan pemilihan umum presiden saja yang meminta diulang, sedangkan yang pemilihan legeslatif tidak ada upaya menggugat sama sekali. Ingat sama sekali tidak ada partai politik baik PKS, PAN, Demokrat, dan juga Gerindra menggugat hasil yang TMS. Apa iya hanya pilpres yang curang, kalau pileg baik-baik saja. Gugur lah permohonannya kalau demikian. Termasuk soal DPT.

Maldini patut juga dimintai pertanggungjawaban soal kepercayaan kepada pemerintah sebagaimana ia nyatakan, jika Jokowi-KHMA dilantik menjadi pasangan presiden dan calon wakil presiden. mengapa ia juga harus bertanggung jawab?

Ia mengatakan Jokowi-KHMA harus mampu menciptakan kepercayaan dari kubu yang kalah dalam pemilihan ini.  Benar bahwa  ini adalah pemerintahan untuk seluruh negeri, namun apa iya hanya pemerintah yang menanggung risiko atas kampanye dan politik becah belah dua kubu ekstrem yang mereka juga ciptakan.

Upaya pemerintah kemarin tidak kenal lelah namun mereka tingkahi dengan aksi waton sulaya. Tampak dalam upaya menanggulangi hoax dan fitnah. Mereka membangun narasi kriminalisasi dan antiagama dan tokoh agama. Mosok mereka tidak tahu dan tidak mau tahu, mereka juga harus bertanggung jawab mendidikan pengikutnya yang sudah mereka rasuki dan racuni dengan ide dan gagasan gemblung mereka.

Tahapan demi tahapan pemilu dan penyelesaiannya sudah dilakukan. Toh narasinya juga curang-cureng tanpa bukti. Ini sangat serius, dan mereka tahu prosesnya kog, mereka juga paham bahwa terlibat di sana, mosok hanya pemerintah semata yang harus bertanggung jawab.

Apa yang perlu dilakukan pemerintah ke depan?

Meminta pertanggungjawaban hukum siapapun pelaku narasi kebohongan dan kebencian tanpa alasan dan dasar selama tahapan pemilu. Jelas keterlaluan yang sudah dilakukan. Merusak dengan berbagai-bagai cara dan kemudian meminta maaf, khilaf, atau akun dibajak, namun sudah menyebar dan merajalela. Jangan itu dianggap sepele seperti itu saja.

Keberanian menegakan hukum menjaid penting, sehingga fitnah, kekurangajaran politik bisa diminimalisir, termasuk yang dilakukan level elit. Karena mereka lah yang memulai dan bisa berkelit  karena jaringan dan kemampuan finalsialnya yang bisa melakukan banyak hal.

Pilkada DKI dan pilpres 2019 cukup menjadi noda hitam kelam demokrasi bangsa ini. Jangan  lagi ada upaya yang demikian dan ada juga pembiaran dan toleransi berlebihan yang tidak pada tempatnya. Politik dan demokrasi kurang ajar yang saatnya dihentikan dan diselesaikan.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun