Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kekalahan Prabowo dan Politik Duplikasi

11 Juni 2019   18:28 Diperbarui: 11 Juni 2019   18:35 957
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Politik Duplikasi dan Mudahnya Prabowo Kalah

Kalah dalam konteks ini tentu bukan dalam arti selisih suara. Susah jika bicara persentase pemilih. Menang dan kalah, satu suara saja sudah menang, dalam konteks ini. Mengapa membatasi pada titik ini saja? Jika berbicara kekalahan dalam selisih suara, demikian banyak faktor dan bisa menjadi artikel lain.

Sejatinya kekalahan Prabowo sejak awal penetapan pun sudah terbaca. Diperparah dengan perilaku ugal-ugalan dalam kampanye, makin meyakinkan kalau kekalahan itu hanya menunggu waktu dan berapa besaran pemilihnya itu saja. Hingga kini, hampir dua bulan usai pencoblosan itu kan hanya injuri time, atas kekalahan semata.

Mengapa mengatakan kalah dengan gamblang? Mereka sendiri lho tidak yakin kalau menang. Klaim tidak berdasar, jika memang menang dan memiliki dasar, mereka tidak akan kacau, bingung, dan belepotan dalam bersikap. Angka saja bingung, sama kacaunya dengan upaya mau apa dengan kekalahan itu. awalnya pp ketika menjadi urusan polisi dan tiba-tiba maju ke MK dengan kelucuan baru.

Kegalauan yang bermuara pada kekalahan ketika mereka memutuskan untuk memilih Sandiaga Uno, lepas dari kata Demokrat, tetapi kecenderungan mencari aman dan koalisi rapuh itu lebih dominan. 

Reaksi atas pemilihan KHMA, dengan susah payah mereka ambil kader sendiri, dari pada kisruh jika mengambil dari parpol lain. Pun dengan  ketua BPN. Jelas ini kesulitan yang diciptakan sendiri.

Lobang pemilihan Sandi juga berimbas pada posisi DKI-2 yang lowong. Ini jelas terbaca dengan amblang bagaimana mereka gagal dalam menyelesaikan Jakarta, apalagi jika nasional. Jangan dianggap sepele. Rakyat Jakarta yang traumatis menghukum dengan kekalahan mereka. Hingga detik ini pun Jakarta tidak lagi dipikirkan.

Ugal-ugalannya Sandi yang mengusik Bali dihukum dengan keras. Sesuatu yang baru baik saja penolakan bisa sangat keras dan brutal. Apalagi baru dan malah cenderung melukai budaya, adat-istiadat, dan perilaku keseharian mereka. Wajar jika kekalahan lebih dari seperempat mereka derita.

Ternyata daerah yang memiliki kemiripan dengan Bali juga bereaksi yang sama. Apalagi pernyataan wisata halal itu juga satu rangkaian panjang atas perilaku politik identitas dan politik agama yang sama ugal-ugalannya dengan perilaku mereka.

Kisah yang sama juga dilakukan Prabowo yang mengatakan tampang Boyolali. Ini orang sudah tidak respek dulu, bukannya diberikan perhatian dan itikat baik, malah meledek, atau halusnya becandanya buruk. 

Yang awalnya meledek menjadi penghinaan. Sama dengan kisah Sandi dan Bali. Hukuman angka nol besar di banyak TPS, sebenarnya harusnya mereka pahami dengan mengambil contoh pilkada Jawa Tengah yang cukup identik dengan pilpres.

Sayang, mereka memang tidak serius di dalam pemilu ini, hanya mengandalkan antitesis, merendahkan kubu lawan, dan hendak menegasi capaian, namun itu malah iklan murah meriah bagi kubu sebelah.

Duplikasi yang mudah dipatahkan.

Ada beberapa duplikasi, sehingga tidak perlu intelijen, tidak usah pengamat kaliber nasional, apalagi asing untuk membaca langkah dan melakukan upaya di dalam meraih kemenangan. Namun sayangnya tidak ada satupun poin yang cukup meyakinkan untuk dapat mempengaruhi pemilih mengambang dalam memberikan kepercayaan pada Prabowo-Sandi.

Pertama duplikasi pilkada DKI. Penggunaan identitas agama, istilah, dan cara-cara berkampanye sangat identik. Dengan mudah dipatahkan, karena sudah pernah terjadi di DKI, apalagi rivalnya cukup berbeda dengan kontestasi di pilkada Jakarta itu. karena memang lemah di dalam merencanakan mereka gagal untuk mendapatkan solusi atas stagnasi potensi pemilih.

Makin ugal-ugalan yang makin dalam terperosok. Seperti orang yang berada di dalam lumpur, makin panik, makin dalam terperosok. Terlihat di dalam kampanye terakhir yang kacau balau, apalagi Demokrat  juga malah bernyanyi sumbang.

Duplikasi kedua, soal tidak mau mengakui hasil, sujud syukur, dan seterusnya. Identik, makin gampang juga menebak arahnya dan upaya dari penyelenggara pemilu, dan juga pihak terkait, TKN dan tim hukumnya. Pengulangan yang tidak jelas, hasil dan bukti yang  jauh dari memadai. Toh lagi-lagi juga identik bukan? Ke MK pun tidak akan jauh dari itu.

Duplikasi ketiga, ini tidak secara gamblang dan persis berkaitan dengan itu. Kerusuhan 22 Mei. Mirip dengan 98. Kondisi dan keadaan yang jauh berbeda, memudahkan penanganan. Tidak membesar dan tidak menjadi keadaan yang jauh lebih buruk.

Pengulangan demi pengulangan, membuat mudahnya mematahkan, bahkan sebelum melangkah pun sudah bisa diantisipasi dengan gamblang. Upaya penegakan hukum dan pencegahan maraknya ujaran kebencian dan hoax jauh hari sudah dilakukan. 

Pembekuan dan penuntutan pengelola saracen, pemenjaraan tokoh-tokoh sentral, yang kog ndilalah melanggar hukum, sangat meringankan Jokowi-KHMA, dan tim untuk melaju dengan mulus.

Kekalahan itu bukan karena apa-apa, karena memang sejak awal Prabowo dan kawan-kawan tidak siap menang. Modal pemilih periode lalu, ingat identitik pemilihan ini, malah lepas, padahal ada amunisi dari Demokrat, dengan hengkangnya Golkar dan P3 memang makin berat. Hal ini seolah disepelekan dan tidak dianggap serius, apalagi digarap dengan baik demi memenangkan pemilihan.

Pengalaman menang mudah di DKI yang membuat terlena. Pun asyik untuk  mengulik pihak lawan mengabaikan perjuangan sendiri. Jika masih mau maju lima tahun ke depan, mulai benahi cara dan jalan yang harus ditempuh.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun