Investasi Sandi Musnah Narasi Curang Tenggelam oleh Keyakinan Kalah Ngamuk
Kerusuhan 22 Mei, sejatinya susah mengatakan kalau Prabowo Sandi satu-satunya pihak  yang harus memanggung beban politis. Tidak bisa pula disalahkan kalau kebanyakan orang malah mengatakan Prabowo dan pengikutnya kalah kog ngamuk. Ini benar terjadi ketika tadi ada tetanggan bercerita melihat televisi jadi pusing karena pengikut Prabowo ngamuk.
Kalah kog ngamuk. Jadi berpikir bahwa ini akan banyak mengendap dalam benak warga masyarakat yang melihat sekilas dalam tayangan media. Padahal sangat mungkin bahwa pengikut Prabowo bukan pelaku utama sebagaimana klaim mereka. (jelas ini artikel lain, bukan dalam ulasan artikel ini).
Investasi Prabowo memang sudah habis periode ini, namun sayang bagi Sandi yang malah terikut arus kuat elit 02 yang sebenarnya ia sadari salah sejak awal. Pengumuman usai pencoblosan memberikan gambaran rasionalitas sebagai pengusaha yang merambah dunia politik. Tidak ikut terlibat dalam klaim dan sujud syukur sebenarnya paling pas bagi Sandi.
Sanddi masih memiliki langkah panjang dalam perpolitikan nasional. Lihat Prabowo bisa memoles banyak hal sehingga 2014 dan 2019 pun bisa bersaing kuat dengan Jokowi. Artinya, "kebodohannya" dalam berakting selama kampanye pilpres 2019 bisa ia atasi selama lima tahun ke depan. Kinerja politik lima tahun ke depan bisa "memutihkan" kefatalan politisnya dalam masa kampanye.
Habis, ketika sebelum pengumuman ia meneriakan kecurangan, bahkan Prabowo sampai mengatakan ia kaget dan heran. Kalah berapi-api sebagaimana ia lakoni. Prabowo saja sampaai heran. Dan apalagi diam seribu bahasa ketika ada kerusuhan. Sekali lagi, benar bahwa bukan semata Sandi dan Prabowo yang berbuat rusuh. Sangat mungkin banyak pihak yang terlibat kog di sana.
Polri dan TNI sejak awal sudah mengatakan, bahwa akan ada potensi penyusup. Mereka malah mengatakan jangan menakuti-nakuti, narasi yang berbeda dengan keprihatinan Polri dan TNI. Bangsa ini bangsa yang kaya dan besar, potensi untuk dijadikan ajang pamer kekuatan bangsa dan ideologi lain itu banyak. Eh malah kepedean untuk menentang peringatan aparat keamanan.
Benar sekali lagi, mungkin bukan Prabowo dan Sandi, namun lingkaran elit mereka semua yang mengatakan, jangan takut, ayo menginap di depan Bawaslu, berjuang dalam jalan agama, polisi menembaki pejuang, dan narasi itu susah dilepaskan dari keberadaan Prab-San. Wong nyatanya mereka sehari-hari terlibat dan terlihat di sana. Apakah ada agenda lain, sangat mungkin.
Irisan kepentingan yang sangat mungkin mendompleng pilpres sebenarnya sangat terasa, hanya karena kepentingan suara pemilih tetap saja diambil dan bahkan dibela mati-matian. Contoh kelompok paling mungkin terlibat dan menggunakan momentum ini adalah ormas yang baru saja dibubarkan, HTI.
Keberadaan mereka yang sudah sekian lama anteng, ayem, nyaman di mana-mana, tiba-tiba ketika impian makin dekat kenyataan, eh malah mimpi indah itu dibangunkan. Membangunkan bukan dengan tepukan halus atau ciuman sayang, namun diguyur air seember. Siapa tidak marah dan meradang.
Hal ini memang masih cukup dini, namun melihat narasi yang dikembangkan polanya ke arah sana. Prab-San menjadi tunggangan yang tidak sadar. Jadi menjadi sebuah kendaraan dalam banyak arti, dan ketika menang bisa menjadi akan ditendang balik.
Paling rugi sebenarnya adalah Sandi, bukan Prabowo. Prabowo makin  habis, dan sudah tidak ada lagi kesempatan, toh sebelum pencapresan kemarin pun keluarga sudah merasa berat. Jadi untuk lima tahun lagi apa tidak jauh lebih berat, termasuk kesehatan. Sandi jauh lebih rugi.
Narasi kecurangan termasuk dinyatakan Sandi jelas menjadi bumerang paling fatal. Ugal-ugalan dengan sandiwara-uno kemarin termasuk penyumbang suara antipati sehingga beralih ke pasangan Jokowi-KHMA. Point terkikis.
Usai pengumuman, kelihatan realistis, pemilih banyak menaburkan simpati dan doa juga, melihat kuyu dan lemasnya Sandi. Ada pula  janji memilih Sandi padahal kali ini jelas Jokowi banget, karena simpati melihatnya yang lunglai. Sandiwara uno dan pete, atm sudah dilupakan.
Ketika ia berteriak kecurangan, dan perjuangan sampai akhir dikumandangkan, kekisruhan di jalanan yang tidak mau mendengar, kata aparat, makin habis. Ia termasuk di dalamnya, apalagi ketika benar-benar rusuh dengan enteng bukan bagian kami. Ini jelas kebiasaan alias tuman, seperti biasanya. Berkali ulang sejak lama pola yang sama.
Narasi kecurangan sekarang kalah gaung dengan kalah ngotot. Ini jelas sangat merugikan. Sebenarnya masih ada peluang di MK meskipun kecil, itu sangat mungkin. Namun narasi mereka yang mengatakan sia-sia telah membakar banyak pihak untuk meradang, dan itu bagian mereka untuk mengatasinya. Jangan malah menyalahkan pihak lain yang harus bertanggung jawab.
Ini akan ditanggung Sandi untuk lima tahun ke depan, meskipun ia balik jadi wagub, atau jadi apapun. Sudah habis apa yang sebenarnya ada saat ini. Pemilih Aceh, Sumber, NTB, dan banyak tempat yang bisa mereka kuasai, sangat gampang diraih, namun apakah dengan perilakunya kini masih bisa diyakini mau memilihnya?
Pilihan sudah diambil dan susah untuk mengembalikannya. Politik itu seni, dan ketika kreatifitas tidak mampu menutupi kekurangan ya sudah, selesai. Narasi kecurangan telah gagal total dan malah menjadi kalah ngotot lebih kuat.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H