Pengalaman itu membawa pada sikap yang cukup berbeda, ketika pemilahan presiden dengan banyak hal yang identik dengan pilkada DKI. Partai pengusung relatif sama, dan kemudian ternyata juga pola yang sama dipakai juga. Mungkin karena sukses di pilkada DKI, atau memang tidak lagi punya amunisi, mau tidak mau dilakukan.
Keberadaan pemerintahan daerah Jakarta yang cenderung mundur, membuat warga menjadi sadar. Salah satunya kemenangan pilkada tidak segaris dengan pilpres. Kondisi yang sama menjadi harapan Prabowo dan koalisi 02 ternyata meleset. Jelas ini karena pemilih tidak mau salah untuk kedua kalinya.
Partisipasi pemilih meningkat. Kecenderungan orang berpikir kalau kegagalan DKI jangan sampai terjadi untuk Indonesia yang sama-sama dicintai. Apalagi kondisi dan keadaan beragam daerah cukup beragam. Respons cukup membahagiakan bagi NKRI. Hasil baik ternyata masih berpihak pada Bhineka Tunggal Ika.
Media sosial mulai dibanjiri tayangan perbedaan Arab dengan Islam. Islam tidak mesti Arab dan Arab belum tentu Islam. Keadaan yang selama ini seakan tabu dan bisa menjadi masalah besar. Hal yang sempat dianggap sensitif mulai lagi mencair. Ini bangsa Indonesia bukan bangsa lain.
Hal ini dipicu oleh pernyataan seorang jenderal purnawirawan yang mengatakan warga keturunan Arab jangan membuat provokasi. Tentu ini bukan mau bertindak rasis, namun kebetulan yang banyak berulah akhir-akhir ini dominan warga keturunan Arab. Tentu bukan juga menuduh keturunan lain yang baik-baik saja, membangun negeri di antara keragaman.
Syukur bahwa itu bukan menjadi gejolak yang berlebihan karena toh secara obyektif banyak manfaat dari pada maksiatnya. Sikap kepala dingin ini yang sering dalam tahun-tahun terakhir dimanfaatkan beberapa pihak untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompok.
Semangat Kebangkitan Nasional di antara keragaman itu mulai pulih. Sensifitas agama dan ras mulai cair lagi. Harapan baik untuk hidup bersama, bagaimana hidup berdampingan dengan baik sesama anak bangsa. Mau Jawa, mau Batak, mau Dayak, mauu China, mau Arab semua setara. Bangsa Indonesia yang memang beragam.
Agama pun beraneka rupa, mengapa mau dipaksa sama. Ada Islam, ada Hindu, ada Budha, ada Katolik dan Kristen, ada pula Kong Hu Cu, dan hidup bebsa dijamin UU, mengapa harus ketakutan kalau melihat sekelompok ormas dengan label tertentu.
Kita ini kaya akan berbagai hal, jangan dikalahkan oleh keinginan sempir beberapa pihak, dan jangan-jangan hanya dijadikan alat untuk keuntungan pihak lain lagi. Jika iya, miris dan sangat disayangkan.
Saatnya bangkit dan mengejar ketertinggalan, persatuan menjadi yang utama di antara kegalauan sesaat usai pemilu. Waktunya membangun karakter dan revolusi mental berjalan dengan laju.
Selamat Hari Kebangkitan Nasional