Hal itu sangat demikian menakutkan dan mencekam bagi yang salah satu atau ada anggota  keluarganya pernah terindikasi OT. Kesan Pulau Buru yang demikian seram, bisa dibaca dalam karya Eyang Pram. Ke mana karya-karya beliau yang dibredel demikian saja, itukah keadilan dan kejujuran ala Madam Titik?
Ke mana selama ini ya Madam ini kog bisa merasa demokratis hebat, bapaknya paling merakyat dan membangun bangsa ini jauh lebih dari semua presiden yang ada. 2007 saja saya masuk Pontianak, 23 km dari sana jalanan masih tanah merah. Debu kalau musim kering dan lumpur kalau musim hujan, apakah itu pembangunan berkeadilan ala Soeharto yang dibanggakan.
Jika Madam Titiek mau sedikit saja melek, sedikit saja keluar dari sangkar emas, sedikit saja melongok dari jendela kungkungan kemewahannya, bukan hanya lima tahunan pemilu, akan tahu apa yang terjadi. Dua kali tawaran menghidupkan memori Orba dihajar habis oleh pemilih Indonesia.
Aburizal Bakrie di 2014 yang membuat brand enak zamanku to, tidak bisa menang pemilu. Dengan segala daya upaya dan ugal-ugalannya pemilu toh dihukum tidak bisa ikut pencalonan presiden, padahal iklan demikian masif dengan kepemilikan media. Suara juga cukup signifikan namun tidak laku. Artinya jelas apa.
Kini 2019 dengan rombongan anak manja mencoba dengan membua partai sendiri, toh tidak cukup membawa ke Senayan apalagi istana. Jelas artinya bahwa Orde Baru itu bukan kebanggaan bagi sebagian besar bangsa ini. Toh koalisi  yang mereka dukung pun tidak cukup kuat di dalam memberikan perlawanan pada incumben.
Titik hanya politikus karbitan. Mentah hanya mengandalkan uang dan nama besar almarhum bapaknya. Komentar dan tanggapannya pun jauh dari kapasitas dan kecerdasan level nasional. Keluar musiman lima tahun sekali dengan banyak pernyataan hanya memperlihatkan kualitasnya yang tidak mumpuni.
Mengancam presiden dan pemerintahan kini jelas malah menambahkan point negatif bagi keberadaannya di tengah percaturan positif yang makin jelas menuju kepada demokrasi yang lebih baik dan beradab. Mengatakan kecurangan namun tidak mau membuktikan. Menepikan lembaga hukum yang pasti, dan legitim. Apakah mau demokrasi ugal-ugalan atau kamuflase semata?
Terima kasih dan salam
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H