Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Jokowi di Antara Pilihan, Presiden Beneran dan Presiden Klaim itu Beda

19 Mei 2019   08:27 Diperbarui: 19 Mei 2019   08:31 1603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menyimak langkah laku presiden Jokowi usai pilpres, dan masih akan sampai Oktober lho menjabat, meskipun usia 22 Mei akan lebih menahan diri baik kalah atau menang, toh paling tidak telah melakukan dua hingga tiga hal cukup kuat yang mematahkan kecemasan gubernur Sumatera Barat itu, jika Jokowi yang memenangkan kontestasi ini.

Pertama, rekam jejak Jokowi bukan seperti itu. Kecemasan gubernur Sumbar mewakili seluruh kepala daerah lainnya. Hanya yang berani dan tega mengatakan hanya dia, sangat wajar dan normal.  Selama ini sudah terjadi. Pembangunan juga dilakukan di mana saja dengan merata, tidak ada yang dianaktirikan meskipun pada pemilihan lalu, suara rendah.

Pemilihan program pun bukan yang model populisme semata. Jika mau populis buat saja gaji ASN naik, pajak dipotong, pembangunan Jawa sentris, dan BBM turun sesaat saja, pasti pemilih akan mengalir deras. Artinya kecemasan itu kog tidak berdasar.

Sama juga dengan pembubaran HTI dan pelarangannya. Lihat saja bagaimana penolakan yang demikian  masif itu dilakukan. Potensi suara pun tergerus dengan narasi antiagama dan antiulama, toh diambil karena memang perlu dilarang, toh banyak negara juga melakukan hal yang sama, dan memang bertentangan dengan dasar dan sendi negara.

Kedua, kunjungan ke NTB dan meninjau kawasan Mandalika. Tahun depan dilengkapi dengan sirkuit untuk motor GP. Lihat suara Jokowi rendah di sana, toh didataangi, dicek, dan diyakinkan akan baik-baik saja. Coba kalau presiden sebelah, wartawan saja diancam, apalagi jika menang, seperti apa perilakunya coba?

Jika model pendendam dan bukan pemimpin, akan mengunjungi dan memanjakan yang memberikannya keyakinan pemilih tentunya. Alihkan saja dengan mudah ke Jawa Tengah atau Bali misalnya, atau tempat lain yang memberikannya dukungan penuh. Toh tidak juga.

Ketiga, memang bukan secara langsung presiden atau Jokowi, PT KAI membuka dan menghidupkan jalur ke Tasikmalaya. Tentu PT KAI berjalan sesuai dengan program pemerintah. Menghidupkan rel mati tentu perlu beaya tinggi, dan memang jika ikut program Belanda, biasanya bagus dalam banyak hal. Pilihan benar dan tepat, pertimbangan ekonomis Belanda bagus.

Apakah gelontoran dana itu tidak bisa dialihkan saja ke Jawa Tengah dulu  misalnya yang menang telak di pemilu, bukan malah Jawa Barat yang sangat kecil suaranya itu? Pilihan yang tidak cerdas sebagai seorang pemimpin tentunya.

Peluang itu harus didukung, mau memberikan dukungan atau tidak di dalam pilpres. Presiden untuk bangsa bukan untuk sekelompok pendukungnya saja. Perilaku bijak dan cerdas ini memang penting, termasuk menjawab ide dan gagasan tidak arif, Arief Puyuono yang mengatakan pemilih Prabowo tidak usah membayar pajak.

Gambaran pemimpin itu selain dari kinerja juga dari gagasan, pernyataan, dan pilihan-pilihannya. Lingkaran utamanya pun ikut berpengaruh, mau cerdas atau maaf bloon ikut berimbas pada pemimpinnya. Dan suguhan dua kelompok itu bak bumi dan langit, dan itu sangat jelas bedanya.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun