Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Prabowo Menggali Lubang Kekalahannya Sendiri

18 Mei 2019   08:27 Diperbarui: 19 Mei 2019   13:36 1585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejak kemarin, berseliweran Prabowo berada di luar ngeri melalui pesan percakapan. Hampir semua grup ada kiriman, bahkan grup lingkungan gereja pun ikut-ikut. Padahal sejak siang melihat isu itu masih belum sepenuhnya yakin. Malam baru makin banyak percakapan dan pemberitaan itu.

Media arus utama pun sudah mencari-carikan konfirmasi. Orang-orang terdekat mengatakan tidak benar, photo tahun lampau, dan ada dari juru bicara resmi BPN yang mengonfirmasi benar ada di Brunei menyikapi perkembangan terbaru. Entah apa maksudnya toh media itu juga berhenti pada itu saja.

Isu dan photo Prabowo dkk ke luar negeri hanya kisah sangat kecil dibandingkan lobang yang digali oleh Prabowo cs selama ini. Lima tahun waktu yang cukup panjang sebenarnya jika mau membangun citra baik dan menjanjikan sebagai seorang calon presiden yang berkompetisi dengan lawan yang sama.

Modal awal pemiihan 2014 dan memiliki kecenderungan fanatis, sayang malah tidak diolah dengan baik. Narasi kebencian, asal bukan Jokowi, dan pemerintah gagal selalu menjadi refrein yang diulang-ulang, dan akhirnya, puncaknya dalam pemilu pemilih maaf menjadi muak dan menghukum dengan cukup telak. Minimal ada dua pukulan, partisipasi naik yang cukup lumayan dan itu cenderung ke pasangan lain. Kedua, keterpilihan Prabowo menurun.

Fokus hanya pada Jokowi dan kursi kepresidenan, bukan membangun citra diri pemimpin jauh lebih baik dari rivalnya. Padahal ia sudah kenal siapa Jokowi, siapa pemilihnya, dan apa yang harus dibuat. Apa daya, hanya kursi dan kursi yang dipandang. Jualanya malah membuat nama Jokowi makin naik dan melambung.

Bagaimana tidak, ketika capres dan cawapres, BPN, semua senada mengatakan kegagalan dan keburuka pemerintah sepanjang massa kampanye. Tidak ada satu pun kisah kesuksesan dan gagasan serta wacana yang mereka tawarkan sebagai sebuah solusi dan terobosan bagus untuk bangsa lebih baik. Ini jelas menawarkan dagangan dengan menjatuhkan dagangan pihak lain. strategi penjualan kuno yang sudah usang.

Pilihan untuk mereduksi pmiih rival, berkaitan dengan yang awal tadi, dengan membela bak babi buta atas penegakan hukum oleh pemerintah dengan jajarannya. 

Bagaimana hingar bingarnya mereka yang kemudian malu dengan kisah Ratna Sarumpaet, Rizieq Shihab, Ahmad Dhani, dan banyak kisah serupa. Namun mereka kemudian melupakan begitu saja ketika sudah dalam persidangan. Nista.

Kebersamaan dengan kelompok-kelompok yang sudah mulai menjadi "musuh publik", jelas pilihan yang menjadi bumerang fatal. Cukup bisa dimengerti memang bahwa politik itu semua adalah kawan dan perlu dirangkul ketika berbicara potensi pemilih. 

Namun reputasi mereka yang ada di sana, termasuk pembelaan mati-matian pada ormas yang di mana-mana dilarang itu jelas parah. Potensi  yang tidak seberapa malah merugikan adanya kemungkinan pemilih lain yang lebih besar.

Lima tahun yang ada bukan memperjelas visi misi, gagasan besar, namun malah mengekor ala Trump dan melupakan identitas dan karakteristik bangsa sendiri. Lihat bagaimana di Jawa secara umum, bahkan DKI sebagai "miliknya" pun lepas. Apalagi dengan pilkada DKI yang menjadi rujukan, itu malah makin dalam galian yang ia ciptakan.

Pemilih makin cerdas, sadar, dan pemerintah juga menangani isu-isu sektarian, fundamentalis dengan masif, akhirnya dalam pemilu gagal. Padahal begitu banyak istilah dan sebutan biasa diganti berbau Arab, ingat Arab bukan Islam, jangan nanti ngamuk menista agama lho ya. Bedakan Islam dan Arab. Mendadak santri, mendadak ulama, rekoendasi ulama bisa berubah-ubah seseuai kepentingan Prabowo.

Hal itu direspon dengan baik di lebih banyak tempat, orang menjadi jenuh dan enggan bersentuhan karena narasi keagamaan namun munafik jauh sebelum itu telah ada separasi partai Allah dan partai setan, dan itu justru bedah bumi, membuka galian kubur pertama kali. Makin ke sini makin parah bukan makin baik.

Narasi dan wacana negatif, pesimis, dan sejenisnya saja yang diulang-ulang. Bagaimana orang tidak bosan dan enggan ketika tempe setipis ATM dimentahkan dengan baik dan mudah, bukannya berubah malah makin menjadi, dan dibawa ke panggung debat lagi. Luar biasa bebal.

Oposisi yang dibangun di parlemen juga malah memberikan angin buruk makin dalam galian kuburnya sendiri. Tidak ada prestasi berarti, selain perseteruan Zon dan menteri, dan itu justru yang disukai masyarakat yang dijadikan bahan katanya kritik itu. Apalagi jika berbicara jauh lebih awali denga KMP dan KIH.

Barisan yang ada, termasuk dalam media sosial, di dalamnya juga Kompasiana, banyak pengikut dan pendukungnya jelas kepala batu, percaya dengan pemiikiran sendiri, intimidasi yang berbeda. Memangnya semudah itu membuat perubahan pola pikir dan pilihan. Ingat pemilih bangsa ini cenderung fanatis, bukan program dan gagasan besar. Apalagi opini dan narasinya dilihat orangnya saja sudah akan ketahuan oh ini.

Usai pemilu pun lebih parah, bukannya meneduhkan malah menebarkan ketakutan dengan people power, tolak hasil pemilu, KPU curang, MK jalur sia-sia, dan pokoknya Prabowo kudu menang, apanya yang membuat yakin kemenangan itu, ketika satu pun tidak ada fakta penguat untuk itu.

Belum lagi satu demi satu klaim itu terbantahkan. Makin lucu dan aneh-aneh saja data dan fakta yang dibawa itu bukan yang semestinya. Makin ke sini makin tidak jelas arahnya.

Padahal, di awal-awal pemerintahan Prabowo sudah bersikap ksatria, hadir, menghormat, dan mengucapkan salam dengan gagah sebagai capres yang menghadiri rekannya yang dilantik. Ini respons positif dan bagus, usai betapa kekanak-kanakannya elit politi bangsa ini  berkaitan dengan suksesi.

Kunjungan dengan naik kuda bersama dalam kasus genting 2016, atau sebelumnya juga berdialog sebagai dua terbaik anak bangsa, sebagai presiden dan calon presiden yang dengan jiwa besar menyumbangkan gagasan besarnya, namun hanya dalam moment-moment khusus saja, tidak sepanjang tahun demokrasi demikian.

Jika kini benar ke luar negeri,  padahal pengumuman pun belum, usai rekan-rekannya yang ngotot menang pun masuk bui dan pergi, makin jelas ia menggali kubur sendiri. Padahal jika mau mendengarkan orang lain sedikit saja, 2024 masih bisa. Rivalnya tidak ada lagi yang setanggug Jokowi. Sayang pilihannya adalah itu.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun